SELAMAT
(Oleh: Andini
Naulina)
Pagi ini aku bergidik mengingat mimpi yang sama yang selalu bertamu sejak
malam pengantin. Ini sudah masuk minggu kedua sejak aku menikah,aku tidak tahu
apa yang terjadi pada diriku sehingga aku menjadi begitu ketakutan. Aku memang
tak mau bercerita pada siapapun terutama pada orangtuaku tapi sepertinya harus
diungkapkan jika aku tak ingin dikejar oleh mimpi itu lagi.
***
Siang itu, aku berjalan keluar pintu kelas setelah dua jam mengikuti mata
kuliah Consumer Behavior. Aku
mengenakan celana katun longgar, kemeja panjang dan sepatu keds. Rambutku yang
panjang aku cepol ke atas dan bibirku tak kupulas dengan apapun. Kakiku
melangkah ke dalam kantin kampus dimana Teddy dan Angga sedang asyik menikmati
es teh manis di siang yang terik ini.
“Ga, Ted… gue mau putus dari Tio.” Ujarku dengan tampang kosong dan tak
sedikitpun menoleh ke arah mereka berdua. Angga dan Teddy berhenti menyesap es
teh manis bersamaan kemudian menoleh padaku yang masi mematung dengan tatapan
lurus ke arah mbok kantin.
“ Lo lagi sakit vi?.” Teddy menaikturunkan telapak tangannya di depan
wajahku. Mataku sama sekali tak berkedip tak juga tergoda dengan lesung pipinya
yang muncul karena mencoba tersenyum menghiburku.
“Lo ada apalagi sama Tio?.” Angga bergerak mendekat dan tangan kanannya
merangkul bahu kananku. Tak berapa lama aku menangis. Teddy berusaha duduk
tepat di depanku agar tak ada orang lain di kantin yang melihat kejadian ini.
“Gue udah gak kuat, Tio kasar!.” Angga hanya mengangguk seolah dia tahu
betul perasaanku lalu terdiam.
Teddy mematung , matanya menatap Angga mengisyaratkan kebingungan. Angga
hanya menarik nafas panjang.
“Tadi malem tuh gue sebel banget sama dia karena satu hal terus gue mau
pulang sendiri tapi dia larang alasannya sudah malam. Padahal tuh masih jam 7
malam, gue juga pernah diusir dia jam 9 malem pas lagi ribut terus gue naik
taxi. Tapi gitu deh, dia kumat dan gue langsung ditarik ke mobilnya dia. Gue
berontak karena gue gak mau deket sama dia, eh tiba tiba gue langsung ditinju
dan dicaci maki.” Mukaku terasa panas mungkin memerah mengingat kejadian tadi
malam yang membuatku marah dan sedih. Mengapa aku bisa diperlakukan seperti itu
oleh kekasihku, calon suamiku. Apakah aku tak berharga di matanya? Apakah aku
termasuk wanita bodoh yang diberitakan oleh koran pos kota atau berita sore di
televisi? yang termasuk kategori berekonomi rendah dari keluarga tak terpandang
yang disakiti oleh suaminya sndiri . Paling tidak, aku pernah menghina mereka
karena pilihan pasangan mereka saat aku menonton atau membaca berita tentang wanita
yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Kini, tanpa kusadari ternyata
aku mengalaminya sendiri dan bukan untuk yang pertamakali namun kesekian kali.
Entah apa yang membuatku bertahan, aku hanya merasa takut jika aku harus
berpisah dengannya.
“ Vi, lo udah sering mengalami ini?.” Teddy yang dari tadi kebingungan
pelan pelan memberanikan diri bertanya padaku. Angga terlihat sedikit
mengangguk. Aku memang sering bercerita pada Angga karena kebetulan dia salah
satu mahasiswa Pascasarjana yang terpandai di angkatanku sehingga aku sering berkomunikasi
padanya setiap selesai kuliah.
“Ngga nyangka ya Tio kayak bgitu, dia kelihatan nice, smart, gagah, sukses dan sempurna tapi….. lo yakin kan bukan
lo yang cari gara-gara? Emang apa masalahnya?” Tanya Teddy lagi.
“ Ya lebih banyak ke cemburuan.. sama kalian juga dia cemburu. Apalagi
Angga, kan gue soal kuliah dikit dikit tanya Angga. Tapi gue kan gak pernah
jalan berduaan sama Angga satu mobil untuk nonton bareng atau makan bareng atau
apalah. Nah tadi malem itu gue baca pesan singkatnya dia dengan salah satu
teman kantornya. Cewek itu bilang: Makasih ya mas.. makan siang berdua yang
sangat berkesan, udah diantar jemput ditraktir terus diajak nonton lagi..sering
sering yaa” kataku mengingat jelas isi pesan cewek tersebut. “Terus.. Tio jawab,
iya Lia.. biar kamu semangat kerjanya kapan kapan kita lunch berdua lagi ya.” Lanjutku
dengan ingatan yang sangat jelas.
“Terus kalo Tio yang salah kenapa jadi lo yang kena sasaran?.” Tanya
Angga.
“ Ya jadi kan gue ngambek dong, gue mau pergi dari rumahnya, gue mau
pulang ke kost gue. Tapi dia ngejar gue, narik gue masuk ke dalam mobil. Di
mobil gue berontak, gue mau turun dan gue gak mau ngomong sama dia. Ya akhirnya
tinju mendarat di kaki dan tangan gue terus semua hewan kebun binatang keluar
dari mulutnya. Nih!.” aku menggulung celanaku sampai ke lutut sehingga Angga
dan Tio dapat melihat bulat bulat biru keunguan meyebar di bagian kaki dan
betis. Mata teddy dan Angga terbelalak. “Nih lagi.” Aku menggulung lengan
kemejaku hingga ke atas siku. Teddy dan Angga kembali melihat bulatan biru
tersebut menyebar di bagian lenganku kemudian saling bertatapan.
“Ya sudah vi, kali ini keputusan lo sudah tepat yaitu mengakhiri hubungan
lo dengan Tio. Gue dan Teddy support lo. Lo putusin lewat pesan singkat aja,
gak usah ketemuan langsung. Gue khawatir nanti ada apa-apa mengingat sifatnya
yang temperamen.” Pesan Angga terhadapku. Aku mengangguk dan meminta mereka
mengantarku pulang ke kost.
***
Hari ini hari Sabtu, sudah seminggu aku jujur pada Teddy dan Angga
terhadap kelakuan Tio dan ingin memutuskan Tio. Perasaanku saat ini sudah
kembali normal. Aku tidak marah lagi. Rasanya aku akan memaafkan dan menerima
kesalahan Tio. Tio paling bisa mengambil hatiku. Sejak kejadian itu, setiap
hari dia mengirim pesan permintaan maaf dan menyesal bahkan mengirim video
dirinya menangis dan merana karena kehilangan aku. Dia juga berusaha datang ke
kost untuk menemuiku setelah pulang kantor untuk mengajak makan malam seperti
biasa. Namun, aku selalu berpesan pada satpam kost agar selalu bilang pada Tio
bahwa aku tidak mau bertemu dengannya. Tio terlihat sabar dan setiap kali
datang ia selalu siap siap membawa makanan untukku jikalau aku masih tidak
bersedia menemui dirinya.
Aku baru akan berdandan ketika telepon selulerku berbunyi dan layarnya
tertera nama Angga.
“Vi lo dimana?.”
“di kost, kenapa Ga?.”
“Gw sama Teddy on the way
kesana ya bawain makanan buat lo.”
“oh oke.”
Lima belas menit
kemudian pintu gerbang kost terbuka, aku sudah menitip pesan pada satpam bahwa
sebentar lagi temanku akan tiba. Angga memarkirkan mobilnya di halam an kost
yang luas. Ia keluar mobil diikuti oleh teddy dan seorang pria yang belum
pernah aku kenal sebelumnya. Aku menggerai rambut hitam sebahuku ,mengenakan
rok jeans selutut, T-shirt pendek warna putih, memoles bibirku dengan lisptik
warna pink nude senada dengan blush on tak lupa sandal teplek berframe H di bagian
atasnya. Teddy, Angga dan pria tak dikenal yang bertampang lebih senior
berjalan menuju ruang tamu kost.
“Hai…duduk siniii ini siapa?.” Tanyaku kepada pria senior asing tersebut.
“Alim.” Jawab laki laki itu sambil menjabat erat tanganku dan matanya
seolah memaku mataku. Aku berusaha melirik pada Angga dan Tio meminta
penjelasan soal siapakah gerangan pria senior yang ada di hadapanku ini?
“Oh… Mas Alim… saya Vivi, temannya Angga dan Teddy.” Aku tersenyum sambil
berusaha melepaskan jabatan tangan kuat itu dan menyilakan dia untuk duduk. Angga
dan Teddy hanya tersenyum cengar cengir.
“Vi, kirain lagi mellow, kok lo
hari ini keliatan berseri seri? Kita kesini mau memastikan keadaan lo nih kita
bawain cakwe kesukaan lo.” Teddy menaruh cakwe di atas meja, membukanya lalu
mencomot satu dan memasukkan ke dalam mulutnya.
“Ooh kesukaan gue apa kesukaan lo? Buat gue apa buat lo?.” Sindirku
sambal tertawa garing.
“Gimana Vi, lo jadi kan mutusin Tio?.” Angga bertanya serius. Aku terdiam
melihat ke arah cakwe. Kasihan Angga, dia pasti bosan mendengar hal ini. Tiap
kali aku memutuskan untuk pisah dengan Tio selalu aku batalkan. Namun, baru
minggu lalu aku menunjukkan bukti kekasaran Tio pada Angga dan Angga bersikeras
bahwa aku kali ini harus benar benar pisah dengan Tio.
“Mm… gue sih sekarang udah gak sakit hati lagi Ga… ini udah hampir
seminggu gue gak ketemu Tio tapi selama itu dia merengek maaf sama gue dan
menyatakan menyesal tidak akan mengulangi.” Aku tak berani menatap mata Angga
yang sepertinya sedang mengernyit tanda tak mengerti.
“terus?.” tanya Angga seolah dia tak puas dengan jawabanku.
“Iya…trus gue fikir,mungkin gue akan memaafkan dia.” Teddy mendadak
keselek cakwe, Angga menarik nafas panjang menahan dan melepaskannya perlahan,
Mas Alim hanya mengangguk angguk.
“Eh Ted lo ga kenapa kenapa kan? Bentar ya gue ambilin air dulu.” Aku
masuk ke kamar mengambil beberapa aqua gelas lalu menyodorkannya kepada Teddy.
Teddy langsung menenggak habis air dalam kemasan tersebut.
“Lo tu sebenernya maunya apa sih vi? Lo mau babak belur lagi?.” Angga
menatap tajam padaku.
“ Ya kan dia udah minta maaf Ga, dia janji gak melakukan itu lagi, dia
kelihatan sangat menyesal.” Ujarku sambal mencomot cakwe.
“ Sekarang gue tanya, dulu dulu pas dia mukulin elo, dia pernah minta maaf
dan berjanji untuk gak melakukan lagi ga?.” tanya Angga. Aku berhenti
mengunyah, berfikir sebentar dan mengangguk pelan. Angga membalikkan kedua
telapak tangannya ke atas seolah menyuruhku untuk berfikir kembali.
“ Lo sebenernya udah berapa kali sih vi mengalami ini?.” tanya Teddy
heran.
“sering.” Jawabku sambil lanjut mengunyah cakwe.
“ Lo kenapa bertahan?.” tanya Teddy dengan mulut menganga dan alis
mengangkat.
“Yah… kan lo berdua tau, target gue menikah maksimal 25 tahun. Nah gue
kan sekarang udah 24 tahun. Gue udah dua tahun pacaran sama Tio. Dia udah janji
untuk melamar gue setelah gue mendapatkan gelar Master gue.” Jelasku. Teddy dan
Angga hanya saling bertatapan.
“Tenang…. Kamu ulang tahun akhir tahun ini kan? Berarti kira kira 5 bulan
lagi ya?.” Tiba tiba Mas Alim membuka suara. Aku terkejut mendapati Mas Alim menebak
ulang tahunku.
“Loh kok tau mas?.” Tanyaku sambil mencurigai Teddy dan Angga. Teddy dan
Angga hanya mengangkat bahu bersamaan.
“ Gue emang sengaja ngajak Mas Alim kesini dan dari tadi gak jelasin
siapa Mas Alim”. Ujar Angga. “Mas Alim itu temen kost gue, dia sering punya
firasat mendekati benar terhadap lawan bicaranya. Dari tadi Mas Alim
memperhatikan lo, gue tau lo akan labil seperti ini. Gue penasaran apa yang membuat
lo labil sehingga lo susah banget memutuskan Tio padahal lo sering disakiti.”
Lanjut Angga. Aku tak peduli. “ Apa jangan jangan lo tu udah dipelet sama dia?.”
Kata Angga lagi.
“Huss sembarangan hari gini nuduh orang main pelet.” Jawabku sewot.
“ Ya lalu apa dong?.” Tanya Angga lagi.
“Ya kan gue udah bilang, target gue menikah itu umur 25 tahun, berarti
kan tinggal 6 bulan lagi.” Jelasku.
“Emang keluarga Tio sudah ada yang datang?.” Tanya Teddy.
“Ya belum sih… katanya ntar kalo udah lulus, Kira kira 3 bulan lagi kan
kita wisuda.” Kataku. “Eh tunggu deh, tadi Mas Alim bilang aku bakal ketemu
jodohku pas ulang tahun ini?.” Aku menoleh pada Mas Alim. Mas Alim mengangguk. “Jodohku
itu pacar aku yang sekarang bukan?.” Tanyaku antusias.
“Bukan.” jawab Mas Alim singkat.
“Ah ga mungkin…” Kataku.
“Kenapa ga mungkin?.” tanya Angga.
“ Tio pernah bilang, ga akan ada lagi yang mau sama aku.” Jawabku. Angga
dan Teddy mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kenapa emangnya?.” Tanya mereka
serentak.
“ Kata dia karena gue punya penyakit.”
“Emang lo sakit apa?.” Tanya Angga.
“Diabetes.”
“Udah periksa?.”
“Belum.”
“Ada riwayat keluarga?.”
“Ngga ada, orang tua gue ga ada yang diabetes.”
“Terus kok dia bisa vonis begitu?.”
“Karena dia sering liat gue minum teh botol.”
Angga dan Teddy
bertatapan lagi, lalu bersamaan menghela nafas panjang dan kembali menyenderkan
punggungnya ke sandaran kursi. Mas Alim tertawa.
“Eh kalian kenapa sih? Aneh!.” Tanyaku sewot.
“Kamu tuh manis tapi polos dan gak pedean.” Ujar Mas Alim. “Mereka udah
mikir yang nggak nggak waktu pacar kamu bilang gak akan adalagi yang mau sama
kamu.” Mas Alim, Angga dan Teddy tertawa geli. Aku menepuk jidat.
****
Malam ini malam minggu, Angga Teddy dan Mas Alim sudah pulang. Aku
sendirian di kost terbaring di kasur sambil berusaha mengulang kembali pembicaraan
tadi siang dan sesekali menolak telepon dari Tio. Kali ini aku harus benar
benar bertanya pada diriku sendiri. Jika aku putus dari Tio maka aku tidak jadi
menikah. Kalau aku tidak menikah nanti papa mama akan sedih karena aku anak
perempuan terakhir yang belum menikah. Lalu para tetangga akan mulai berbisik
bisik membicarakan kandasnya hubunganku walaupun sudah dua tahun pacaran dengan
seorang laki laki yang sering diajak ke rumah bertemu mama dan papa. Lalu teman
teman satu per satu akan menikah dan meninggalkanku melajang sendirian. Namun jika
aku ingin semua itu tak terjadi maka aku harus menikah dan tidak bahagia. Tunggu….aku
tidak bahagia? Aku tak percaya kali ini diriku berkata jujur. Yup aku tidak bahagia jika menikah dengan
Tio!! Jadi mengapa aku selama ini bertahan? Aku baru tersadar ternyata aku
hanya ingin memuaskan semua orang dan aku terpengaruh ucapan Tio yang
mengatakan bahwa tak akan ada pria lain yang mau meminangku. Kemudian aku
teringat dengan ramalan Mas Alim bahwa aku akan bertemu dengan jodohku enam
bulan lagi.
****
Enam bulan berlalu, kini aku telah berbahagia. Ternyata ramalan Mas Alim benar,
aku bertemu jodohku seminggu sebelum ulang tahun dan dia melamarku sebulan
kemudian. Sekarang aku sudah dua minggu menikah dan aku sudah memberanikan diri
untuk menceritakan masa laluku kepada suami dan kedua orangtuaku. Reaksi
suamiku adalah memelukku erat dan memastikan bahwa rumah tangga yang akan kami
jalani tidak akan pernah ada kekerasan di dalamnya sedangkan reaksi kedua orangtuaku
adalah kaget setengah mati karena tidak percaya dengan perlakuan Tio yang
sehari hari terlihat manis dan sempurna itu ternyata menyakiti fisik dan bathin
putri bungsunya. Meskipun begitu, yang paling penting adalah aku selamat dari
menjalani bahtera rumah tangga dengan seorang pria tampan berhati serigala
karena aku berani untuk mengatakan tidak pada kekerasan di dalam suatu
hubungan.