Live Learn and Write

a piece of short stories everyday

Monday, February 26, 2018

Cinta Mama dan Papa di Mata Dini



CINTA MAMA dan PAPA DI MATA DINI

Oleh : Andini NH

                Sore itu, mama dan papa sedang asyik bercengkrama di ruang keluarga. Mereka saling membicarakan aktivitas mereka seharian di kantor
“pa, bu Irma itu sepertinya merasa tersaingi oleh mama “ ujar mama
“kenapa dia ma?” tanya papa penuh perhatian.
“iya, dia itu gak suka kalau mama diangkat jadi kepala bagian” jawab mama
“loh kok gitu? Memangnya dia mau menjadi kepala bagian?” tanya papa
“iya sepertinya, dia kan sudah lama menjadi staf di situ. Mama ini orang baru tapi sudah langsung diangkat “ jelas mama
“oh..dikira gampang ya menjadi kepala” lanjut papa
“Itulah pa..fikirannya bu Irma memang selalu begitu “ tegas mama
Tak jauh dari mereka Dini yang msih berusia delapan tahun tanpa disadari sedang menyimak percakapan mereka sejak tadi
“ih…mama dan papa suka ngomongin orang ya..kata bu Asma kan gak boleh omongin orang” celetuk Dini dengan polos. Sontak mama dan papa tertawa
“loh..nggak dong Din…ini mama dan papa sedang bertukar fikiran”.  Jelas mama
Dini pun mengangguk angguk.
            Dini selalu melihat kedua orangtuanya harmonis dan penuh kasih sayang. Dalam benaknya tak ada pasangan sempurna seperti mama dan papa. Apalagi Dini selalu mendengar awal kisah perjumpaan mereka hingga akhirnya berkeluarga dan memiliki Dini dan Ade adik lelakinya. Bagi Dini, keluarga sempurna itu harus seperti keluarganya yaitu rukun, damai dan bahagia.
            Ketika Dini dan Ade kuliah di luar kota, iamendapat kabar bahwa papa dimutasi ke Berastagi Sumatera Utara untuk menjadi kepala kantor di sana. Alhasil, mama sendirian di Jakarta karena mamapun masih aktif bekerja. Suatu hari Dini mendapat telepon dari mama
“Din, mama ambil cuti seminggu” Kata mama
“Oh yaa assikkk mama mau ke Jogja ya temuin Dini?” tanya Dini girang
“Maaf Din, mama gak bisa jenguk kamu dulu, mama mau ke Brastagi temuin papa, mama kangeeen banget sama papamu. “ jawab mama
“ooh…..” ujar dini
“kamu baik-baik ya di Jogja” pesan mama
“baiklah ma…salam untuk papa” jawab Dini
Sejak papa di Brastagi, Dini tak lagi menjadi prioritas mama. Jatah telpon dan cuti mama dipakai untuk berhubungan dengan papa. Cinta mama kepada papa sungguh besar, sepertinya ia tak mampu hidup tanpa papa.
            Sudah seminggu mama di Brastagi, akhirnya mama kembali menelepon Dini.
“ Din, mama sebel sama papa” ujar mama
“loh kenapa ma? Minggu lalu bilang kangen banget” sindir Dini
“ iya.. kan mama itu kangen banget sama papa sampe dibela belain ambil cuti supaya bisa melepas kangen sama dia. Eh…disana mama malah dicuekin” jawab mama
“ Dicuekin? Dicuekin gimana? Kok papa begitu?” tanya Dini
“Gini lho Din, papa disana berangkat kantor pagi pagi, pulangnya baru sore. Mama tungguin papa bengong bengong di rumah. Pas papa pulang kan mama berharap papa perhatian sama mama. Eh… ini sih biasa aja tuh. Ih mama gak betah seharian di rumah gak ngapa-ngapain” jawab mama
Dini hanya menghela nafas. Dini tau, mama itu wanita karir. Pantaslah dia tidak bisa di rumah mengurusi hal hal rumah tangga. Mama dan papa itu terbiasa bertemu di sore hari selepas pulang kantor dan saling bercerita tentang aktivitas masing masing di hari itu. Kalau mama tidak bekerja ya dia tidak ada sesuatu yang bisa diceritakan pada papa.
            Akhirnya, ketika lebaran tiba kami semua dapat kembali berkumpul bersama di Jakarta. Tradisi ketika lebaran adalah keluarga duduk melingkar bersama kerabat lain yang datang berkunjung lalu masing masing anggota keluarga meminta maaf dimulai dari anggota keluarga termuda. Masing masing anggota mendapat giliran untuk berbicara sesuai urutan . Yang terakhir adalah yang tertua. Kini, tiba giliran mama berbicara
“ Anak-anakku, hari ini adalah hari teristimewa bagi mama karena kita dapat berkumpul bersama. Bagi mama, bersatu dengan kalianlagi dan papa adalah tak ternilai harganya” kemudian tangis mama pecah mengusik hati Dini dan Ade. “kalau mama boleh meminta kepada Allah swt, mama mohoon…agar kita semu dipersatukan kembali di rumah ini. Taka da yang lebih membahagiakan daripada hal tersebut” begitulah pidato lebaran mama.
            Ternyata, beberapa tahun kemudian akhirnya doa mama dikabulkan. Papa kembali bertugas di Jakarta. Dini lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di Jakarta. Ade menyusul dua tahun berikutnya pulang ke Jakarta setelah menuntut ilmu empat tahun di Bandung. Papa mendapat promosi kenaikan jabatan. Kehidupan keluarga Dini mulai meningkat. Mama diberi supir dan mobil sendiri oleh papa. Rumah nyaman mereka direnovasi dan diperluas sesuai dengan keinginan mama.
            Namun, kebahagiaan tersebut tak berlangsung lama. Dini melihat ada kejanggalan dalam hubungan mama dan papa. Dini tak lagi mendapatkan pemandangan perbincangan kedua orangtuanya di sore hari. Papa semakin tenggelam dengan pekerjaannya, mama merasa sendirian dan mencari kesibukan dengan mengikuti beberapa majlis taklim. Suatu hari, ketika papa sedang sendirian menonton tv di ruang keluarga, mama sedang berada di dalam kamar. Tiba tiba telepon selular papa yang ketinggalan di kamar berbunyi.
“ Halo mas, kita jadi ketemu gak?” tanya seorang wanita dari nomor yang tidak ada namanya
Mama yang mengangkat telepon selular papa seketika dadanya bergemurh kencang seolah-olah dapat terdengan ke seluruh ruangan.
“ Halo? Mas..” ujar wanita itu lagi.
“ eh….ini siapa ya?” tanya mama dengan tangan dan kaki gemetaran.
Tut……tiba tiba suara telepon terputus, wanita nomor tak dikenal tersebut mematikan teleponnya. Mama masih berdiri kaku memegang telepon seluler milik papa. Kemudian ia lagsung keluar kamar menghampiri papa. Amarahnya tak dapat ditahan lagi .
“ Ini nomor siapa?!!” bentak mama kepada papa. Papa yang kelihatannya sedang asik selonjoran nonton televise padahal pandangannya kosong dan jiwa sedang tak berada di dalam rumah langsung kaget.
“Ada apa sih ma siang siang bgini teriak teriak!” jawab papa dengan nada yang tak kalah tinggi.
“Udah deh papa gak usah berkelit, ayo jawab aja papa siang ini mau kemana sama perempuan itu?!” teriak mama. Dini yang sedang tidur-tiduran di kamar kaget dengan suara keributan di ruang televise. Dini langsung tahu bahwa itu suara papa dan mama yang tak biasanya bernada tinggi semua. Dini buru buru keluar kamar begitu juga dengan Ade. Ade langsung berdiri di tengah mama dan papa.
“Kenapa ini ma…?kenapa pa?” tanya Ade.
“Tuh! Papa kamu tuh selingkuh!!” jawab mama sambil menangis. Dini terpaku, matanya berkaca-kaca setengah tak percaya. Papa selingkuh? Selama ini papa adalah potret suami sempurna di mata Dini.
“Bener pa?” tanya Ade kepada papa yang sedang duduk tertunduk dan menggaruk kepala
“Apa sih? Itu Cuma urusan kantor ! urusan kerjaan!”  jawab papa membela diri.
“Sudahlah ma… jangan curigaan… itu papa mengaku hanya urusan kantor saja” Ujar Ade menenangkan mama.
Mama berlari masuk ke kamar dan mengunci pintu. Mama tampak yakin akan pendiriannya bahwa papa selingkuh. Bagaimanapun juga mama pasti sudah mengenal sifat papa sehingga apa yang terjadi pada diri papa sudah diketahui mama walaupun papa tak berterus terang. Firasat seorang istri terhadap suami pastilah kuat karena mereka berdua tak pernah pisah ranjang apalagi pisah rumah selama puluhan tahun.
            Hubungan papa dan mama makin hari makin memburuk. Mama selalu menuduh papa selingkuh. Badan mama kian hari kian menyusut. Wajahnya tak lagi bersinar meskipun sudah ia tutupi dengan lipstick mahal. Senyum itu hilang membuat wajah mama bagaikan senja yang mendung. Papa selalu menyangkal selingkuh walaupun sudah sangat terlihat jelas kelakuannya yang berbeda. Pulang selalu larut malam, terima telepon sembunyi sembunyi dan sering keluar kota di akhir pecan dengan dalih kerjaan. Dini beberapa kali melihat mama menangis. Mama kesepian karena papa mulai tak memperhatikan dirinya dan tak ada lagi saling bertukar fikiran di sore hari selepas bekerja. Dini selalu berdoa agar mama dan papa tidak bercerai karena ia tak mau kelak dipandang sebelah mata oleh orang tua calon suaminya.
            Beberapa tahun kemudian tiba saatnya Dini menikah, papa dan mama tidak pernah bercerai. Malahan mereka lambat laun mulai terlihat akrab kembali. Tak lama setelah Dini menikah, papa pensiun. Sejak pensiun, sikap papa sudah berubah jauh lebih baik lagi terhadap mama. Kata mama, papa sekarang mulai mesra lagi dan tambah sayang terhadap mama. Mungkin setelah ia pensiun ia baru menyadari bahwa setelah ia tak punya jabatan lagi, ia masih memiliki keluarga yang utuh. Namun, tak semudah itu bagi papa untuk dapat merebut kembali hati mama. Fikiran mama masih selalu terseret akan masa lalu dimana papa begitu acuh padanya. Kalau papa mulai mengajak mama bermesraan, mama malah mendadak marah marah dan mengungkit masa lalu. Meskipun begitu, Dini tahu bahwa mama masih mencintai papa malahan sebenarnya cinta mama itu jauh lebih besar . Hanya saja, menyembuhkan luka hati itu tak semudah memberi obat luka pada tempat yang terluka dan menutupnya dengan perban. Butuh komitmen untuk berjanji bisa melupakan dan butuh kebesara hati untuk mau memaafkan. Lama kelamaan, berkat cinta mama jugalah akhirnya mama pelan pelan memaafkan papa dan mereka kembali terlihat mesra. Apalagi pada momen disaat Dini melahirkan anak pertamanya.
Mama keluar dari kamar operasi dengan lari lari tak sabar mencari papa di ruang tunggu
“Papa…papa….Dini sudah melahirkan!!” mama memeluk papa erat dan air matanya menetes.
“Alhamdulillah ma…perempuan atau laki-laki?” tanya papa dengan mata berkaca-kaca
“perempuan..pa…akhirnya kita punya cucu pa…” mama tak kuasa menahan kebahagiaan hingga ia mencium cium papa. Itulah titik balik kemesraan mama dan papa.
            Hampir sepuluh tahun sudah mama dan papa menjadi kaken dan nenek yang bahagia. Cucunya sudah bertambah menjadi hampir lima orang. Tiga dari Dini dan hampir dua dari Ade. Pada suatu Subuh mama seperti biasa hendak mandi sebelum menunaikan ibadah sholat Subuh namun tiba tiba mama berteriak memanggil papa
“ Pa…pa..” teriak mama dari dalam kamar mandi. Gubrak!! Terdengar suara orang jatuh dari dalam kamar mandi. Papa segera berlari masuk ke kamar mandi.
“ Mama!!” teriak papa seketika melihat mama sudah terjatuh di lantai. Papa menggendong mama keluar kamar dan menempatkan mama di kasur dengan hati hati.
“pa…mama pusing pa…telepon Ade pa….telepon Dini pa…cucu cucu…” suara mama semakin lama semakin tak terdengar dan mama mulai tak sadarkan diri. Papa panic sendirian dan lansung menelepon Dini, Ade dan dokter tetangga. Seketika mama langsung dibawa ke IGD dan langsung dipindahkan ke unit perawatan intensif. Dini dan Ade datang hampir bersamaan. Mereka berdua banjir air mata melihat mama dari balik kaca. Papa sedang berada disamping mama dan tak lama dipinta suster untuk segera keluar ruangan. Dini dapat dengan jelas melihat papa membisikkan ke mama “Selamat ulang tahun pernikahan ke 37 ma, papa sayang sama” lalu papa mengecup kening mama dan meninggalkannya”
Dini menangis sesenggukan sebab ia menjadi saksi kisah cinta mama dan papa. Dini memetik pelajaran bahwa cinta sepasang manusia itu akan mengalami pasang surut namun pada akhirnya kehidupan akan berjumpa dengan akhirnya maka hargailah cinta kita sebelum cinta tersebut hilang.

Wednesday, February 14, 2018

Beautiful Mama



BEAUTIFUL MAMA

            Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, aku anak perempuan satu satunya. Sejak kecil aku bangga melihat mama dan bercita cita kelak akan menjadi seperti beliau. Mama biasa berangkat ke kantor pagi pagi. Dia mengenakan blouse pendek, rok mini dan sepatu berhak. Tubuhnya ramping, potongan rambutnya pendek dan mengenakan kalung mutiara sepanjang dada, terkadang kalung bebatuan terkadang kalung manik manik. Dia punya banyak koleksi kalung. Aktivitas wajibnya sebelum keluar dari daun pintu rumah adalah duduk di kursi tamu, mengoleskan lotion bermerek Citra ke tangan dan kakinya yang berkulit kuning langsat. Warna kulit mama tidak seperti warna kulitku yang sawo matang, aku cenderung seperti papa. Dulu, aku pikir mama mendapatkan warna kulitnya karena rajin memakai lotion Citra yang slogan iklannya adalah : kecantikan kulit wanita Indonesia.
Hari pertamaku di Sekolah Dasar, mama izin masuk kantor siang hari karena ingin mengantarku. Aku duduk di bangku deretan tengah, tangan terlipat di atas meja. Aku tak mengenal sekelilingku. Yang aku kenal hanyalah wajah mama yang kulihat di jendela.Wajah mama berseri-seri dan sesekali memberi jempol kepadaku.
“Ayo anak-anaksiapa yang tahu Sila Pertama Pancasila”. Tanya bu Guru kepada murid murid di kelas. Beberapa anak ada yang mengacungkan tangan, yang lainnya malu malu termasuk diriku. Aku menoleh ke jendela mencari cari mama. Mama menatapku dan mengacungkan jarinya mengisyaratkan bahwa ia menginginkan aku untuk tunjuk tangan.
            Setiap pekan di sore hari, mama gemar bermain volley dengan ibu-ibu komplek. Mama mengenakan celana pendek seperti ibu-ibu lainnya. Suatu hari papa meminta mama untuk mengenakan celana panjang saat bermain volley namun mama mengabaikan perintah papa akhirnya mama sempat terjatuh dan lututnya luka parah. Sejak itu ia tak lagi mengenakan celana pendek dan mulai mengenakan hijab.
            Ketika aku kelas 5 SD, mama harus meninggalkanku untuk menuntuk ilmu di Arkansas, USA selama enam bulan. Mama yang aku kenal adalah seorang yang berkemauan kuat dalam hal menggapai cita citanya. Ia benar benar mengerahkan semua kemampuannya dan rajin beribadah. Sebelum berangkat ke USA, mama sibuk mempersiapkan ujian TOEFL. Ia selalu belajar di kamarnya dan terkadang menginap di tempat lain agar tenang dari keributan yang aku dan adikku perbuat. Waktu itu, yang aku inginkan adalah menjadi seperti mama. Wanita hebat, pintar dan kuat. Sepulang dari USA, berat badan mama meningkat drastis akibat berada di sana ketika musim dingin.
            Ketika aku SMP, mama sering mengajakku ke kantor. Mama punya ruangan sendiri dan beberapa anak buah. Aku bangga melihat mama menjadi seorang yang disegani di kantor walaupun harus menempuh jarak yang sangat jau setiap hari dari rumah ke kantor.
            Menjelang lulus SMU, aku sering berantem sama mama. Penyebabnya hanya soal gaya belajarku. Aku sangat berbeda dengan mama. Aku tidak punya kemauan kuat untuk menggapai sesuatu.
“BRAKK” mama mendobrak pintu kamarku. Aku yang sedang asyik bercermin langsung ketakutan . Mata mama melotot dan menghampiriku.
“ Ya Ampun! Disuruh belajar kok kamu malah ngaca! Mama buang ya kacanya!” Mama bergegas mencopot cermin yang bergantung di dindingku dan menaruhnya di gudang.
Pernah juga ketika malam-malam aku menerima telepon dari teman pria yang menyukaiku tiba tiba mama membuka pintu kamar dan teriak
“EEh… ini anak bukannya belajar malah telepon teleponan. Bagus ya! Mau jadi apa kamu kalo tidak lulus UMPTN mama tidak akan kuliahin kamu!”
Tanpa ba bi bu lagi dan aku keburu malu dengan temanku tersebut akhirnya telepon langsung aku tutup.
Di sekolah, aku terlihat murung walaupun nilai nilaiku cemerlang.
“Ya ampun Lin.. lo tu kayak terlalu diforsir banget “ Ujar Citra.
“Iya..tiap pulang sekolah selalu….les bimbingan belajar” Kata Ima.
“Hari ini aja yuk bolos les, kita kemana yuk jajan” Ajak Yolla.
Aku tertarik dengan ajakan Yolla. Dua jam sebelum pelajaran sekolah berakhir, aku menelepon mama dari kantor Tata Usaha sekolah.
“Ma..Lina hari ini izin gak les ya, Lina mau pergi sama temen temen” Begitulah aku minta izin dengan polosnya.
Bel pulang sekolah berbunyi. Tiga sahabatku menghampiri dan kita bergegas keluar gerbang sekolah namun baru saja sampai pintu gerbang tiba-tiba aku melihat mama sudah di luar. Aku benar benar tak menyangka karena aku fikir mama masih di kantor rupanya sedetik aku minta izin tadi mama langsung keluar kantor untuk menjemputku di sekolah. Akhirnya aku berjalan menuju mama dan mama mengantar dan menungguku sampai les selesai.
            Akhirnya pengumuman UMPTN itu tiba. Pagi-pagi mama sudah membeli Koran KOMPAS dan buru-buru mencari nomor pesertaku. Tak disangka akhirnya perjuanganku membuahkan hasil. Kami menemukan nomor persertaku tertera di Koran tersebut. Aku lulus ujian masuk Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM). UGM adalah kampus dimana dulu mama dan papa pertamakali bertemu. Mama langsung mencium dan memelukku erat dan kami berguling-guling di lantai.
            TIba saatnya aku berangkat ke Jogja. Aku melihat wajah mama penuh haru. Usianya tak lagi muda, air mata menetes di sela sela kerutan matanya. Aku berjanji tak akanmengecewakan mama.
            Aku berhasil menyelesaikan kuliahku dalam waktu 4,5 tahun dan kembali ke Jakarta. Mama sudah tak sabar menunggu fase kehidupanku selanjutnya yaitu menikah.Mama sudah amat sangat merestui hubunganku dengan pacarku. Namun sayangnya, pacarku masih harus di Jogja karena belum menyelesaikan kuliahnya. Akan tetapi, rencana tidak sepenuhnya berjalan lancar. Bukannya menyelesaikan kuliah, dia malah mendapatkan pacar baru. Akhirnya kami putus dengan tidak baik. Aku berhari hari mengunci diri di dalam kamar menangis dan tidak selera makan. Mama berhari hari itu pula menangis depan pintu kamarku memohon agar aku mau keluar dan kembali ceria.
            Badai telah berlalu, aku mendapatkan pekerjaan bagus dan karirku menjanjikan. Pada hari itu, sehari setelah lebaran aku masuk kantor dengan semangat akan tetapi kantor masih sepi karena masih dalam cuti lebaran.
“Lina, kamu ke ruangan saya ya” Pak Restu atasanku memanggilku melalui telepon.
“Ya pak?” tanyaku ketika sudah berada di ruangannya.
“ Besok ada syuting iklan perusahaan kita. Bintang iklannya pengusaha sukses. Saya mau kamu besok jadi PICnya. Jangan mengecewakan ya”. Perintah Pak Restu.
“Baik pak” Ujarku.
Keesokan harinya aku itba pagi sekali dengan tampilan prima. Syuting iklan perusahaan dilaksanakan di kantor. Di akhir acara kita semua berfoto bersama sang bintang iklan dan asisten eksekutifnya. Setiba di rumah, aku memperlihatkan mama foto tersebut. Mama menyentuh gambar sang bintang iklan dan berujar : “Ya Allah semoga ada kerabat atau orang kepercayaan bapak ini yang akan menjadi jodoh anak saya,Amiiin”. Doa mama.
            Tak disangka, seminggu kemudian aku bertemu lagi dengan asisten eksekutif pengusaha sukses sang bintang iklan perusahaan tempat aku bekerja. Sejak itu kami mulai berpacaran dan tak lama langsung menikah. Mama pernah bilang : “ Lin tau ga? 10 hari terakhir bulan Ramadhan mama selalu Tahajjud agar lina segera mendapat jodoh . Lina akhirnya ketemu jodohnya kira kira dua minggu setelah lebaran kan ? Tandanya doa mama terkabul”.
            Akhirnya aku menikah, mama sangat gembira apalagi setelah Sembilan bulan kemudian cita citanya untuk segera menimang cucu terkabulkan. Mama yang menemani persalinanku, mulutnya tak berhenti komat kamit mengaji Yassin agar kita semua selamat. Alhamdulillah akhirnya operasi cesarku berjalan lancar.Kata suamiku, mama langsung keluar kamar operasi berlari kencang menuju ruang tunggu dimana suami dan saudara berkumpul
“Lina sudah melahirkan! Lina sudah melahirkan!” teriak mama.
“Pa..kita akhirnya punya cucu pa…cucu kita perempuan” ujar mama ke papa.
            Dalam lima tahun pernikahan, aku sudah memberikan 3 cucu perempuan untuk mama. Aku selalu bersyukur mama masih sehat dan masih bisa dititipkan anak-anak jika aku dan suami bepergian keluar kota. Mama sangat senang jika cucu cucunya berkumpul di rumah.
            Suatu pagi, tepatnya dini hari usai menunaikan sholat Subuh, aku menerima telepon dari papa
“Ya pa?” jawabku
“Lin, mama masuk IGD, kamu segera ke rumah sakit” Papa bicara terbata bata.
Seketika badanku lemas dan dada ini terasa sesak sekali. Fikiranku langsung bertanya tanya bagaimana kalau hari ini hari terakhir ketemu mama? Bagaimana? Dan bagaimana?
Sesampai di IGD, adikku dan papa sudah di situ. Aku dipersilakan masuk untuk melihat keadaan mama. Namun aku tak kuasa menahan tangis saat kulihat mama tak berdaya. Satu hal yang selalu berkecamuk dalam fikiranku saat itu adalah bagaimana jika ini hari terakhir mama di dunia sedangkan aku masih banyak berdosa pada beliau dan belum dapat membahagiakannya. Saat itu, aku tak mau meninggalkan mama. Aku genggam tangan mama, aku cium cium mama. Aku ingat saat saat ketika aku melahirkan anak-anakku , mama selalu ada disampingku membacakan ayat ayat suci Al Qur’an. Aku ingat saat saat dimana aku tak peduli perasaan mama, tak pernah membahagiakan mama. Aku tak menyangka hal ini terjadi. Rasanya waktuku tak banyak lagi untuk menebus semua dosa dosa dan berbhakti kepada beliau.
            Mama dirawat di ICU selama 3 minggu tak sadarkan diri karena pembuluh darah otak sebelah kanan pecah. Bagian tubuh mama sebelah kiri lumpuh. Aku hanya dapat melihat mama di balik kaca dan 1-2 kali diperbolehkan masuk. Suatu hari dokter memanggilku.
“Bu, Ibu anda hari ini sudah boleh keluar ICU karena kondisi tensinya sudah stabil , kami akan segera pindahkan ke ruang rawat inap” Begitulah dokter menginfokanku.
Sujud syukur, aku bahagia Allah masih memberi waktu kepadaku untuk berbhakti kepada mama. Saking bahagianya dengan kabar tersebut aku berfikir mama sudah kembali normal ternyata fikiranku salah. Meskipun mama sudah dapat membuka mata dan berbicara namun ingatannya masih terbatas, ucapannya tidak jelas dan tidak dapat menggerakkan sebagian besar anggota tubuhnya.
            Mama, yang dahulu aku bangga karena kegesitannya, kegigihannya dan ketekunannya kini terbaring lemah tak berdaya. Ia orang pertama yang aku kabarkan atas kemahiran dan kebisaanku, sahabatku sekaligus musuhku. Kini mama seperti bayi lagi yang harus belajar makan, belajar bergerak, memakai pampers, terbaring lemah di tempat tidur. Aku beberapa kali memandikan mama dan membersikah kotorannya, membacakannya ayat suci Al Qur’an dan membacakan cerita. Sekarang, aku tak bisa dengan mudahnya bercerita kepada mama melalui telepon.
MAMA…..AKU KANGEN MAMA YANG DULU…
Seandainya situasi dan kondisi tak dapat kembali seperti dulu..maka izinkan aku membahagiankanmu di masa tuamu…..



Febuary, 14th 2018
Lina