Live Learn and Write

a piece of short stories everyday

Saturday, May 8, 2021

Review Buku Dunia Sophie

 Review Novel


Judul    : Dunia Sophie

Penulis    : Jostein Gaarder

Penerbit    : Mizan

Cetakan ke : XV, Januari 2021

ISBN        : 978-602-441-020-9

Halaman    : 800


Hampir saja saya menyerah pada niat membaca novel ini ketika melihat ketebalannya. Namun, rasa penasaran saya tergelitik akibat seringkali mendengar buku ini diperbincangkan. Syukurlah, saya bisa juga selesai membaca buku ini dalam waktu satu bulan. Walaupun, terus terang saja, tidak  bisa memahami sepenuhnya. Terutama, jika sedang membahas pandangan-pandangan para filosof yang terus berkembang dari zaman ke zaman. Saya pikir, saya perlu mengulangi membaca buku ini agar dapat menghapal nama-nama filosof dan pandangan-pandangannya.


Satu hal yang membuat saya ingin terus membalik halamannya adalah sebuah misteri yang disuguhkan penulis sejak awal. Sophie (15 tahun), selalu mendapat kiriman sebuah amplop yang berisi kuliah filsafat dari seseorang yang tak dikenal. Ketika cerita terus berlanjut dan akhirnya Sophie menemukan siapa pengirimnya lalu berteman dekat, misteri tetap berlanjut. Beberapa surat dan kartu ucapan ulang tahun dari seorang ayah kepada seorang gadis yang usianya seperti Sophie, selalu dialamatkan padanya. Saya menerka-nerka bahwa mungkin si pengirim adalah hantu atau semacamnya. Namun, jawabannya ada setelah saya membaca setengah halaman buku ini. Jawabannya sangat berhubungan dengan kuliah filsafat yang menurut saya membosankan tapi ternyata adalah kunci untuk mengungkap misteri-misteri yang disajikan di keseluruhan cerita.


Siapa sangka, membaca novel filsafat malah mengasah kepekaan unsur spirituaitas saya. Jika Aristoteles dan Decrates sepakat bahwa manusia terdiri dari dua hal selain material yaitu akal. Maka, dalam kajian agama, telah diketahui bahwa diri kita adalah tarik menarik antara keduniawian dan akhirat. Jika Kant mengatakan bahwa gerak manusia itu seharusnya mengikuti moralitas, maka tujuan manusia beragama adalah memiliki akhlak yang baik. Selain itu, buku ini juga membuka wawasan tentang bagaimana alam semesta bekerja.



Walaupun telah menyelesaikan membaca buku ini, menurut saya, buku ini perlu dibaca berkali kali. Banyak sekali ilmu pengetahuan yang bisa diperoleh dari sini yang diceritakan dan dicontohkan melalui tokoh novel di dalamnya.

Friday, February 12, 2021

Review Novel : Pulang (Leila S Chudori)

 

 

 

 



 

Review Novel

 

Judul                         : Pulang

Penulis                     : Leila S Chudori

Penerbit                    : Kepustakaan Populer Gramedia

ISBN                         : 978-602-424-2756

Halaman                   : 461 hal

Ilustrator                  : Daniel “Timbul” Cahya Krisna

Pereview                : Andini Naulina

 

Kalau aku mampus, tangisku/yang menyeruak dari hati/akan terdengar abadi dalam sajakku/yang tak pernah mati .(Chairil Anwar)

 

Bait sajak dari penyair angkatan ’45 itu dikutip oleh Dimas Suryo dalam suratnya kepada Lintang Utara, putri semata wayangnya. Dalam surat itu ia telah memutuskan ke mana ia akan pulang setelah bertahun-tahun berkelana mencari suaka dan terdampar di Paris akibat ‘perzinahan politik’ yang pernah dilakukannya. Dimas dan kawan-kawannya ; Nugroho, Risjaf dan Tjai selalu berharap dapat kembali ke tanah air yang terpaksa mereka tinggalkan selama puluhan tahun sejak tahun 1965. Demi bertahan hidup, dengan keahlian memasak yang dimiliki oleh Dimas, mereka berempat mendirikan restoran yang diberi nama Tanah Air yang terletak di Rue de Vaugirard. Restoran tersebut bukan hanya sekadar mengenalkan kuliner dan kebudayaan Indonesia pada warga asing melainkan juga menjadi obat rindu bagi perantau nusantara termasuk tahanan politik dan keluarganya yang dicekal oleh pemerintah Indonesia.

Dimas yang masih menyimpan perasaan pada Surti -mantan kekasih sekaligus istri dari sahabatnya yang hilang diculik- akhirnya menikah dengan wanita Prancis bernama Viviene Deveraux. Pernikahan mereka dikaruniai seorang putri bernama Lintang Utara. Namun, pernikahan itu tak bertahan lama karena baik Viviene maupun Lintang mendapati kenyataan bahwa hati Dimas masih memiliki Surti dan tidak pernah menganggap Prancis sebagai rumahnya. Sikap Dimas yang anti pada orang-orang kaya termasuk pada kekasih Lintang yang bernama Naratama, merenggangkan hubungan ayah dan anak. Namun, seperti sudah takdirnya, Lintang yang hampir menamatkan kuliah sinematografi di Universitas Sorbonne itu diminta dosen pembimbingnya untuk membuat film dokumenter tentang kesaksian keluarga dan para tahanan politik Indonesia tahun 1965. Akhirnya, Lintang berdamai dengan Dimas dan pergi ke Jakarta sendirian berbekal daftar nama calon responden dari ayahnya dan kawan-kawan. Bulan Mei tahun 1998, suasana politik di Jakarta sedang memanas. Mahasiswa dan para tokoh perjuangan semakin lantang meneriakkan reformasi dan meminta Presiden Suharto lengser dari jabatannya.Lintang tiba di Jakarta dan bertemu dengan Alam, seorang aktivis dan juga anak bungsu Surti. Ia terjebak dalam cinta segitiga sekaligus pergolakan politik di Indonesia.

 

Novel ini mengambil setting sepanjang pemerintahan orde baru yaitu sejak tahun 1965 hingga 1998. Isinya lebih banyak menguak curahan hati para eksil politik yang terdampar di Prancis, berdasarkan kisah nyata dan dikerjakan dengan riset yang detil. Mungkin itulah salah satu sebabnya mengapa novel ini baru selesai di tahun 2012 padahal mulai dikerjakan sejak tahun 2006. Seperti halnya dengan novel Leila yang terbaru yang berjudul Laut Bercerita, ada persamaan pada kedua tokoh utamanya; Dimas dan Laut. Keduanya sama-sama aktivis, mahasiswa sastra, pintar memasak, berasal dari Solo dan Bapaknya mendidik mereka dengan buku sastra. Alurnya juga menggunakan alur campuran, menggunakan POV 3 dan beberapa POV 1 sehingga cukup membingungkan. Endingnya terbuka, settingnya lebih banyak di Paris sehingga ada beberapa kata yang menggunakan bahasa Prancis. Meskipun demikian, novel ini masih “ringan” untuk dinikmati sebab Leila sangat piawai bercerita dengan gaya bahasa yang sederhana. Membaca buku ini, akan memberikan wawasan baru tentang sejarah yang ditutup-tutupi. Paling tidak, menjadi sumber informasi dari pihak “yang lain” yang selama ini hilang dari pelajaran sejarah.Novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan Italia. Selain itu, juga memenangkan Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari "75 Notable Translations of 2016 oleh World Literature Today".

 

Tuesday, February 9, 2021

Review Film Little Women (2019)

 

 

 

 

 


 

 

Review Film Little Women

 

Judul                         : Little Women

Sutradara                  : Greta Gerwig

Produksi                    : Columbia Pictures

Tanggal Rilis            : 7 Desember 2019

Negara                      : Amerika Serikat

Sinematografi           : Yorick Le Saux

Pemeran                   : Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Eliza Scanlen, Timothee Chalamet, Laura Dern, Meryl Streep

Pereview                   : Andini Naulina

Nonton di Netflix

 

 

“I’ve had lots of troubles, so I write jolly tales.” (Louisa May Alcot). Itulah quote dari sang penulis novel Little Women yang diadaptasi ke dalam film ini dan dimunculkan di awal pemutaran film. Namun, keriangan bukan hanya satu-satunya kata yang sesuai untuk dilontarkan pada film ini melainkan juga haru, rindu, empati dan hangat.

 

Film ini mengambil setting tahun 1860-an ketika Amerika sedang menghadapi perang saudara. Jo March adalah seorang penulis wanita yang sangat menyayangi keluarganya dan berpendirian kuat untuk tidak menikah. Ia mempunyai masa kecil yang bahagia bersama ketiga saudara wanita, ibu, dan sahabat lelakinya. Tuan March mengabdikan dirinya pada negara untuk bergabung dalam angkatan perang sehingga keluarga March harus hidup dengan kondisi serba kecukupan. Mrs March atau yang biasa disebut Marmee (diperankan oleh Laura Dern) harus berperan sebagai ibu sekaligus ayah yang menafkahi keempat anak perempuannya.  Meg March (diperankan oleh Emma Watson) adalah kakak tertua yang bercita-cita menjadi seorang aktris, menyimpan hasrat untuk menjadi orang kaya tetapi hatinya tertambat pada seorang pria yang berprofesi sebagai guru. Beth March (diperankan oleh Eliza Scanlen) adalah adik Jo March yang menjadi satu-satunya anggota keluarga yang tak punya keinginan apa-apa selain bermain piano dan berada di tengah keluarga. Beth akhirnya meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Amy March (diperankan oleh Florence Pugh) adalah anak bungsu yang memiliki bakat melukis dan sejak kecil sudah menyukai Laurie, tetangga sekaligus sahabat Jo March. Amy akhirnya menikah dengan Lauree. Laurie (diperankan oleh Timothee Chalamet) adalah anak yatim piatu kemudian diasuh oleh kakeknya yang kaya raya yang tinggal di rumah besar di seberang kediaman keluarga March. Laurie sangat menyukai keriangan yang ada di keluarga March dan akhirnya jatuh cinta dengan Jo March.

 

Novel ini telah beberapa kali diadaptasi menjadi film. Pada Tahun 1994, Little Women yang disutradarai oleh Gillian Armstrong menggunakan alur maju. Keceriaan dalam keluarga March tanpa sang ayah dimunculkan di adegan pertama, keempat kakak beradik mengisi waktunya dengan bermain drama karya Jo March di rumah. Sedangkan Greta Gerwig pada Little Women kali ini menggunakan alur campuran. Adegan dimulai dengan Jo March berada di kantor penerbit di New York hendak menjual cerita pendeknya demi mendapat upah yang akan digunakan untuk membantu keluarganya. Kemudian adegan beralih ke masa lalu dengan jarak waktu yang tak terlalu jauh (tujuh tahun) sehingga dapat membuat bingung penonton. Oleh sebab itu, jika ingin menonton Little Women gubahan Greta Gerwig ini disarankan untuk membaca novelnya terlebih dahulu atau menonton film produksi sebelumnya agar dapat dinikmati dengan khidmat. Meskipun demikian, Greta Gerwig berhasil membungkus cerita ini menjadi cerita yang hangat. Ada momen yang kembali diangkat di film ini dengan sangat menyentuh emosi. Misalkan ketika kakak beradik March saling mengeluh karena di hari natal tidak ada kado lalu Marmee datang dan memberitahu bahwa ada tetangga mereka yang terdiri dari ibu dan anak-anak kecil tanpa ayah dan makanan dan harus berbagi kasur dan selimut di natal yang bersalju ini. Marmee mengusulkan agar anak-anaknya mau memberikan makanan mereka sebagai kado natal bagi tetangga miskin tersebut. Lalu mereka berbondong-bondong datang ke rumah tetangga itu dan merayakan natal bersama. Selain itu ada juga momen dimana Jo March setelah sekian lama dan sempat mengalami kehilangan adiknya, Beth March, akhirnya memutuskan untuk kembali menjalin cinta dengan Laurie. Namun, Laurie terlanjur menikahi Amy tanpa sepengetahuan Jo. Di sini, Jo terlihat sangat terpukul tetapi akhirnya ia bisa menepis kekecewaannya demi kebahagiaan Laurie dan adiknya. Sinematografi yang digarap oleh Yorick Le Saux lebih sering menggunakan teknik Extreme Long Shot untuk menggambarkan situasi, kondisi dan perbedaan tempat tinggal keluarga March dan Lawrence. Pengaturan setting tempat di film ini lebih modern tapi tetap mewakili situasi di zamannya, terlihat dari keadaan kota New York yang dibandingkan garapan sebelumnya masih beralaskan tanah. Penataan kostum yang meskipun sesuai dengan penampilan di masanya tetapi tetap mengedepankan aspek fashion. Contohnya adalah kostum yang dikenakan oleh Meg dan teman-temannya pada saat pesta di kota, menggunakan warna-warna pastel cerah dipadankan dengan tulle dan bulu-bulu merupakan salah satu aspek yang menandakan kemajuan ilmu dan teknologi produksi film Little Women terbaru.

 

 

Monday, February 8, 2021

Review Kumpulan Cerpen: Malam Terakhir

 

 

 

 

 

 


Review Kumpulan Cerpen

 

Judul                        : Malam Terakhir

Penulis                     : Leila S Chudori

Penerbit                   : Kepustakaan Populer Gramedia

ISBN                        : 978-602-424-823-9

Halaman                   : 117 hal

Pereview                  : Andini Naulina

 

 

 

Kumpulan cerpen Malam Terakhir terbitan tahun 2020 merupakan cetakan yang keenam.   Di buku ini Leila menyeleksi cerita-cerita yang sesuai dengan keinginan periode masa kini dan mewakili zamannya.

 

Ada sembilan judul cerpen yang dapat dinikmati dan dihayati. Di awal cerita, kita akan dibawa ke situasi Paris yang kumuh dan berada dalam adegan antara seorang gadis dengan Marc seorang seniman yang bergulat dengan jiwanya (Paris, Juni 1988). Kemudian cerita beralih ke sebuah keluarga di Jakarta. Adila yang berusia 14 tahun merasa terkekang oleh Ibunya sendiri dan mengakhiri hidupnya demi menggapai kebebasan (Adila). Lalu kita bertemu dengan ketidaksetaraan labelisasi antara wanita dan pria yang sama-sama merusak kesetiaan ( Air Suci Sita).

 

Sehelai Pakaian Hitam, dan Untuk Bapak meruak kisah kehidupan dunia dan akhirat yang saling bergesekan. Manusia bertuhankan manusia. Terkekang oleh harapan manusia lain sehingga terjebak dalam kemunafikan dan akhirnya terbebas karena kematian. Ilona dan Keats menyuarakan kebebasan pikiran dan pilihan wanita, menolak konvensi adat istiadat dan norma. Terlepas dari perdebatan kebebasan pikiran dan pilihan, kisah Sepasang Mata Menatap Rain adalah kisah yang menggugah dan membuka mata pembaca terhadap masalah-masalah negara miskin yang ternyata hadir di negeri sendiri. Petualangan cerita akhirnya berlabuh pada kisah terakhir yang judulnya dipilih sebagai judul buku kumpulan cerpen ini yaitu Malam Terakhir. Kisah itu kembali mengingatkan kita kepada sejarah kelabu negeri ini.

 

Seperti novel-novel Leila yang lain, kumpulan cerpen ini menyediakan ruang bagi pembaca untuk menikmati kalimat yang dirangkai oleh kata-kata pilihan sang penulis yang sangat menyukai tata bahasa. Wawasan penulis tentang karya sastra terkenal baik dari dalam maupun luar negeri juga ikut dibagikan di setiap cerita. Latarbelakangnya sebagai seorang jurnalis turut membentuk gaya penulisan yang sederhana namun memuat kompleksitas.

 

Kumpulan cerpen ini bukan cerpen cengeng penuh drama. Kumpulan cerpen ini adalah potret kebebasan yang terkungkung oleh ragam hal.

 

 

Friday, February 5, 2021

Review Novel : Laut Bercerita


 

Review Novel

 

Judul           : Laut Bercerita

Penulis        : Leila S Chudori

Penerbit       : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

ISBN            : 978-602-424-694-5

Halaman       : 379

Pereview       : Andini Naulina

 

 

Ketika saya terpaku pada sebuah rak tertulis ‘Best Seller’ di toko buku, saya masih belum dapat menentukan buku mana yang akan saya pinang dari sekian buku yang berbaris di rak itu. Namun, sesaat mata saya menangkap nama Leila S Chudori tertera di salah satu buku dan dengan sekejap tangan saya langsung menyambarnya. 

 

Sesuai dengan judul ‘Laut Bercerita’, gambar sampul buku ini adalah laut berwarna biru dengan ikan-ikan cantik yang sedang berenang di dalamnya akan tetapi di sudut gambar ada ilustrasi sepasang kaki yang dirantai. Ilustrasi tersebut menimbulkan pertanyaan di benak saya : Ada apakah gerangan dengan kaki terantai di dalam laut yang indah?

 

Segera saja saya membalik badan buku ini dan membaca tulisan di punggungnya. Terus terang awalnya saya tidak terlalu menyukai blurb yang tertulis karena buku ini bukan termasuk ke dalam genre yang saya sukai. Buku ini bercerita tentang penyiksaan yang dialami oleh para aktivis di tahun 1993-1998. Lalu, saya kembali melihat sampulnya dan menemukan lingkaran kecil berwarna emas di sudut bawah tertulis S.E.A Write Award 2020. Batin saya berkata : Buku ini bukan buku biasa.

 Singkat cerita, saya langsung meminangnya bersama 2 buku lain yang ada di rak itu. Akan tetapi, buku ini bukan buku pertama yang saya baca. Setelah dua buku lain selesai dilahap oleh saya, saya masih saja ragu untuk membaca buku ini. Pasalnya, saya takut membayangkan kengerian yang ada di dalamnya. Akhirnya, saya mencoba membuka halaman daftar isi. Dari daftar isi, diketahui bahwa buku ini menggunakan dua POV 1. Prolog dan 10 Bab pertama menggunakan POV tokoh Biru Laut sedangkan 6 bab terakhir menggunakan POV tokoh Asmara Jati. 

 

Biru Laut dan Asmara Jati adalah kakak beradik yang berasal dari keluarga harmonis. Sejak kecil mereka terbiasa membaca karya sastra dan novel-novel perjuangan yang ditulis oleh sastrawan Indonesia dan juga penulis asing. Ketika Biru Laut menjadi mahasiswa UGM, ia bergabung dengan gerakan mahasiswa yang ‘terlarang’. Gerakan mahasiswa itu mempunyai tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Suharto yang telah memimpin negeri ini selama puluhan tahun sehingga mengakibatkan sistem pemerintahan menjadi korup dan menyengsarakan rakyat. Akibat gerakan mahasiswa tersebut, Laut dan rekan-rekannya menjadi buronan lalu kemudian diculik. Mereka disiksa dan akhirnya dibunuh. Berbeda dengan kakaknya, Asmara Jati fokus menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran UI. Meskipun Ia telah berulang kali mengingatkan Laut betapa bahaya gerakan yang sedang dilakukannya, Asmara tetap menyayangi dan ikut mendukung Laut. 

 

Ternyata, membaca setiap kata yang mengalir dari buku ini tidak sedikitpun berdampak ketakutan atau trauma melainkan kesedihan yang mendalam dan, terus terang, membuat saya sedih selama dua hari. Saya masih ingat peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang mengakibatkan lengsernya Presiden Suharto, akan tetapi saya tidak mengetahui dibalik peristiwa sebesar itu ada perjuangan Laut dan kawan-kawannya serta kesedihan keluarga para aktivis yang  hilang. Membaca buku ini membuat kita kembali mengingat sejarah yang sempat terlupakan oleh para generasi muda. 

 

Buku ini bukan buku sejarah, melainkan novel fiksi yang berdasarkan kisah nyata. Leila S Chudori mengisahkannya dengan detil dan penuh penghayatan sehingga membuat pembaca benar-benar kembali dibawa ke zaman orde baru dan berada di tengah-tengah Laut beserta kawan-kawannya. Selain itu, Leila juga membumbui kisah ini dengan puisi dari penyair terkenal Sutardji Colzoum Bachri dan beberapa karya sastra terkenal lainnya yang membuat kisah sejarah yang menyedihkan ini menjadi suatu cerita yang indah yang patut kita kenang. Itulah sebabnya buku ini mendapat penghargaan The South East Asean Write Award (S.E.A Write Award), diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan juga dibuat film pendeknya oleh Yayasan Dian Sastrowardoyo.

 

Sunday, July 5, 2020

Batik Lawas

BATIK LAWAS

Oleh: Andini Naulina


            Rumah yang baru kubeli di daerah Jakarta Selatan setengah tahun lalu akhirnya sudah selesai direnovasi. Aku membuat rumah dengan model Rumah Joglo yang terasnya luas tak bersekat dan di tengahnya disokong oleh  empat pilar-pilar kayu jati . Konon, Rumah Joglo dianggap bukan sekedar rumah melainkan lambang kekayaan karena biasanya Rumah Joglo hanya mampu dimiliki oleh orang orang yang kondisi finansialnya bagus. Interior rumah ini penuh dengan hiasan batik-batik lawas dengan bingkai kayu yang kemudian menjadi semakin cantik disorot oleh pencahayaan accent light. Perabotannya pun didominasi oleh kayu jati karena aku sangat keranjingan dengan lemari atau kursi seperti  kepunyaan Eyang Putri sebelum rumahnya terbakar. 
 “ Wow good job babe! “ Arya bertepuk tangan kencang. Aku yang sedang asik menikmati teras di rumah baru celingukan mencari empunya suara. Arya muncul dari pintu pagar. 
“ Gila! Hampir saja jantungku copot! ” Aku berdiri menyambut Arya si pria yang tampan, tinggi , berkulit sawo matang , lebih muda dariku dan sudah setahun menjadi pacarku.  Aku baru akan memeluknya akan tetapi Arya sudah melayangkan kecupan dan melumat bibirku, kedua tangannya memeluk pinggang dan mengangkat tubuh mungilku mendekap erat hingga aku hampir kesulitan bernafas. 
“ Kangen, “ katanya. Ia melepasku kemudian menggenggam tanganku. Aku menghela nafas.  “Yuk kita berangkat sekarang? “ Tangannya menarik tanganku sehingga aku ikut tergeret langkahnya. 
“ Wait, kamu gak mau tur rumah baruku dulu? “ Aku menghentak genggamannya. Arya ikut berhenti kemudian pandangannya teralihkan oleh penampilanku, ia memperhatikan dari ujung rambut sampai ke kaki.
“ Wow! You are so gorgeous!... Aku pangling melihat kamu mengenakandressmini berwarna putih, bertelanjang kaki dan rambut tergerai kayakgini. Kamu seperti bukan Ibu Miranti yang terkenal garang di kantor, ” Arya tertawa menggoda, matanya berbinar seakan dia baru pertama kali bertemu denganku. 
 “ Jadi aku kalodi kantor keliatan garang ya? Kokkamu mau sama aku? “ aku berbalik badan sambil mengibaskan rambut. Arya menyusul kemudian memeluk pinggangku.
“ Welljustru aku suka wanita yang dominan di luar tapi keibuan di dalam… Anyway tur kan bisa nanti, kasihan orangtuaku sudah menunggu kita di rumah. Lagipula sebentar lagi kankita jadi suami istri jadi bisa lebih banyak waktu menikmati rumah ini, “ godanya.
“ Cheesy. “ Aku mencubit pinggang Arya. Arya tertawa lagi.
“ By the waywhere’s the restroom? “ Tanyanya.
“ Itu, di ujung ruangan di pintu kedua dari kanan, “ jawabku. Arya melangkah menuju arahanku.
Sambil menunggu Arya menyelesaikan urusannya di kamar mandi, aku pun menyiapkan diri mulai dari menyisir rambut kemudian mengulas tipis bibirku dengan lipstick berwarna nude dan terakhir menyemprot cologneJustmine by Jo Malone di leher dan lengan bawah bagian dalamAku tak bermaksud membuat kedua orang tua Arya menyukaiku maka aku akan tampil sederhana dan apa adanya saja. Lagipula sebenarnya bukan keinginanku untuk dikenalkan ke mereka karena aku selalu canggung dan cenderung sarkasme bila bertemu dengan orangtua siapapun juga. Itulah sebabnya aku masih sendiri sementara orang lain seusiaku sudah berkeluarga. Tiba-tiba ponselku berdering, aku mencari-cari benda itu namun arah suaranya bukan dari sekitarku melainkan dari arah kamar sebelah kamar mandi. Aku segera berlari ke kamar itu dan di situ aku melihat Arya sedang menggenggam ponselku, tangan satunya menutup hidung sambil jongkok menghadap sebuah bingkai di sebelah lemari kayu tua yang sedikit terbuka memperlihatkan kain-kain batik kuno beraroma lapuk.  Tatapannya fokus terhadap satu- satunya hiasan dinding yang belum terpasang di rumah ini yang bukan batik lawas melainkan potongan in depth storydari Koran Nasional soal kebakaran Rumah Joglo di Desa Wirobrajan, Yogyakarta pada tahun 1991. 
“ Arya! Kamu lagi ngapain di sini? Kamar mandi ada di sebelah kamar ini. “ Aku menarik Arya agar ia mau keluar dari kamar itu. Kaki Arya sama sekali tak mau bergerak, ia masih saja membaca tulisan-tulisan yang ada di dalam bingkai. Aku mulai panik, dadaku terasa sesak.
 “Arya PLEASEkeluar! “ Aku menarik punggungnya hingga ia berbalik melihatku yang sedang menunjuk tangan ke arah pintu sambil melotot. Aku mengutuk diriku yang lupa mengunci kamar rahasia ini. Tak boleh satu pun orang yang masuk kamar ini selain aku karena kamar ini adalah bagian diriku yang lampau dan aku belum siap membaginya kepada siapapun juga. Arya tercengang, ia tak pernah melihatku membentaknya sehisteris itu. 
“ Mira kamu kenapa? Kenapa di lemari itu banyak batik-batik usang yang baunya busuk dan ada apa dengan cerita di dalam bingkai foto itu? Mengapa ada gambar rumah joglo yang terbakar? Itu rumah siapa? “ Arya mencengkeram dan sedikit mengguncang bahuku. 
“ Kamu terlalu banyak bertanya, Arya. Sebaiknya kita batalkan saja pertemuan dengan orang tuamu hari ini,” tukasku. Aku berlari menuju pintu luar dan menunggu Arya mendekat lemas dan menunduk.
“ Mira , Sayang… maafkan aku kalau aku terlalu mendesak kamu. Tapi kalau kamu sudah tenang dan bersedia menjelaskan,  aku akan selalu ada untuk kamu,” bujuknya. 
“ Tidak sekarang, aku minta kamu pergi.” Aku menutup pintu dan membiarkan Arya sendiri di luar.
                                                             ***


Ibuku bernama Ayu Sophia. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga terpandang di Desa Wirobrajan, Jawa Tengah. Ayu dalam Bahasa Jawa adalah jelita sedangkan Sophia dalam Bahasa Yunani adalah bijaksana. Eyang Putri memberikan nama itu dengan harapan agar Ayu menjadi gadis cantik yang bijaksana. Namun pada kenyataannya, Ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang manja dan keras kepala. Kondisi finansial almarhum Eyang Kakung yang melimpah  membuat semua keinginan ibu terpenuhi. Ketika Eyang Kakung meninggal dunia, ibuku baru berusia dua puluh tahun dan ia memutuskan untuk menunda kuliahnya dan menikah dengan teman sekelasnya. Tentu saja Eyang Putri menentang tetapi ibuku malah nekat melarikan diri dan menikah siri dengan pria tersebut. Setahun kemudian yaitu awal Tahun 1981, Ibu kembali ke rumah dengan kondisi hamil tua tanpa suami yang menemaninya. Eyang Putri merasa iba karena bagaimanapun juga ibu adalah anak kandungnya. Sebulan kemudian lahirlah seorang bayi kurus dengan berat hanya 2,5 kilogram dan diberi nama Kasmirah. Eyang putri memberikan nama Kasmirah untukku dengan harapan agar aku menjadi wanita yang pandai menyimpan rahasia, kuat, percaya diri dan pintar mengendalikan situasi. 
“Mengapa Eyang berharap agar Mirah menjadi wanita seperti itu? “ tanyaku ke Eyang Putri ketika aku berusia sepuluh tahun. Sore itu kami berdua sedang duduk-duduk di teras Rumah Joglo milik Eyang. Tangan Eyang yang keriput meraih kepalaku dan menempatkan di pahanya yang berbalut kain batik kuno. Kedua tanganku memeluk kakinya kemudian wajahku kuarahkan ke kain batik Eyang, kuhirup aromanya sedalam mungkin kemudian perasaan tenang itu datang menyelimuti hati. 
“ Kamu pasti kelak akan mengetahui nduk,kali ini Eyang yakin kamu akan menjadi sesuai harapan Eyang. “ Eyang membelai rambut lurusku, jemarinya seolah mengantarkan energi positif berasal dari doa- doa yang setiap hari Ia panjatkan untukku. 
“ Yang, sepertinya waktu kecil Mirah selalu bermimpi melihat ibu dan seorang pria menarik-narik tubuh Mirah. Saya kesakitan sampai menangis, lalu Eyang selalu datang dan memarahi laki-laki itu. Saya diambil dan digendong Eyang pakai kain batik Eyang lalu saya berhenti menangis karena saya tau saya sudah selamat di pelukan Eyang kemudian karena terombang ambing ke kanan dan ke kiri akhirnya saya bisa tidur pulas. “ Tiba-tiba jemari Eyang berhenti membelai kemudian mengangkat bahuku sehingga aku terbangun menatap wajah Eyang yang semakin keriput. “Kenapa Yang? “ tanyaku.
“ Kamu inget itu nduk? “
Aku mengangguk, “ mimpi itu sepertinya sangat nyata jadi saya selalu teringat.”
Eyang memelukku agak lama kemudian aku mendengar isakan tangis, aku melepas pelukan Eyang dan melihat mata Eyang sudah basah. “ Itu ayahmu, waktu kamu lahir ia tak mau bertanggung jawab dan menelantarkan kamu dan ibumu. Setahun kemudian dia selalu datang meminta uang pada ibumu karena ia tak mampu lagi untuk membiayai kuliahnya dan tak punya pekerjaan . Jika kami tak memberinya maka ia akan mengancam untuk merebutmu.”
“ Sekarang bapak dimana Yang? “
“ Maafkan Eyang nduk,kami terpaksa melaporkannya ke polisi agar bisa hidup tentram tetapi ternyata bapakmu tak kuat mental. Ia depresi dan akhirnya bunuh diri. OpoKowemau mengunjungi makam bapakmu nduk? “
“ Kalau dibolehkan Eyang. ” Aku kembali memeluk paha Eyang dan menghirup wangi tua dari kainnya. 

***
            Sore itu ternyata adalah perbincangan terakhir aku dengan Eyang. Aku tak mau keluar dari kamar dan selalu menangis selama satu bulan . Aku memeluk semua kain-kain Eyang dan menghirup aromanya  sampai-sampai tubuhku pun sudah berbau sama dengan Eyang. Ibu beberapa kali mencoba membuatku keluar kamar dengan caranya yang khas yaitu mengancam. Sejak kecil komunikasinya terhadapku adalah sebuah ancaman. Jika aku tak mau makan maka aku tak akan mendapat hadiah. Jika aku tak mau mandi maka aku tak boleh digendong Eyang. Jika aku tak menurut maka semua mainanku dibuang. Kali ini aku tak peduli dengan ancaman-ancamannya lagi. Apalagi sejak ia menikah dengan pria yang baru dijumpainya  setelah enam bulan Eyang meninggal dunia. Ia benar-benar wanita rapuh yang selalu butuh pria untuk mengusir kesedihannya. Ia tak bisa melewatinya hanya bersamaku saja.
            Baru sebulan usia pernikahan mereka, aku selalu lihat ibu dipukuli setiap malam lalu pria itu akan pergi sampai pagi dan terkadang pulang dalam keadaan mabuk. Seingatku, aku tak pernah melihat ibu bahagia dan aku  selalu terkena imbasnya. 
            Pada suatu pagi, kulihat lelaki itu terbangun dari kursi ruang tamu. Ibu sedang keluar rumah entah pergi kemana. Aku yang baru keluar dari kamar mandi dan masih berbalut handuk langsung lari masuk ke kamarku. Namun terlambat, suaminya ibu langsung menubrukku dari belakang sehingga aku tersungkur di atas tempat tidur. Aku berontak dan berusaha teriak tetapi apa daya aku tak dapat mengelak sebab tubuh lelaki itu sangat berat sementara tangan kirinya mendekap mulutku sedangkan tangan kanannya membuka balutan handukku dan menurunkan celananya lalu menarik perutku ke arah kemaluannya. Aku menangis kesakitan, pandanganku buyar dan gelap tak lama kemudian lelaki itu mengerang lalu mencampakkanku sambil mengancam agar aku tak menceritakan hal ini kepada ibu. Lelaki itu pergi entah kemana kuharap ke neraka. Aku hanya bisa menangis melihat darah mengotori sprei dan menahan sakit di daerah selangkanganku.
            “Ya Ampun Kas!! Kamu habis ngapain? “ tiba-tiba ibu datang. Aku tak sadar masih telanjang dan berdarah. Aku hanya bisa tergagu.
            “ Su-suami i-ibu yang melakukannya! “ 
            “ Apa?!! Dasar kamu anak durhaka! “ Ibu memukuli dan mencubitku kemudian pergi entah kemana. Kuharap mereka berdua sama sama ke neraka. Aku masih menangis sambil tertatih-tatih meraih kain Eyang dari lemari lalu kupeluk dan kuciumi sampai perasaan tenang itu datang dan kemudian aku tertidur. 
            Aku terbangun tepat pukul sebelas malam, kukenakan pakaianku lalu mengendap-endap ke kamar ibu. Kulihat ibu tidur berdua dengan bajingan itu. Aku pergi ke dapur mencari makan tapi tak kutemukan satu pun makanan melainkan korek api dan jirigen minyak tanah di pojok dapur. Aku teringat Eyang suka membakar sampah dengan dua benda itu. Aku mengambil jirigen dan menuangkan isinya ke sekeliling rumah kemudian menyalakan korek dan melemparkan ke kamar ibu. Sekejap api menyala dan membesar, aku lari ke kamar Eyang kemudian masuk ke dalam lemari kayu dan menyelimuti diri dengan kain kain Eyang. 
            Keesokan paginya aku terbangun di pekarangan rumah, orang-orang berkerumun melihat rumah joglo terbakar. Aku heran diriku tak ikut terbakar namun kuharap ibu dan suaminya sudah di neraka. Seorang wartawan meliput kebakaran itu, ia banyak bertanya namun tak satupun pertanyaannya yang kujawab. Seorang perempuan separuh baya yang kenal dekat Eyang Putri mengatakan bahwa kedua orangtuaku sudah tiada dan ia menawarkan diri untuk mengasuhku. Aku dibesarkan olehnya  dengan baik hingga lulus SMA kemudian ketika aku hendak pamit merantau ke Jakarta, Ibu asuhku  memberikan guntingan surat kabar yang isinya foto dan berita tentang kebakaran rumah Eyang pada tahun 1991. Aku membawa dan menyimpannya beserta kain-kain Eyang yang tak terbakar. 
            Tak sulit bagiku memperoleh pekerjaan di Jakarta karena selain mempunyai ijazah akupun mempunyai paras yang menawan. Aku diterima sebagai SPG kosmetik di sebuah mall dan berhasil menjual sesuai target setiap hari. Suatu hari aku dipanggil ke kantor pusat untuk menerima kenaikan pangkat.
            “ Selamat , Anda kami promosikan menjadi manajer cabang. Semoga di cabang yang baru Anda dapat meningkatkan target penjualan, “ Pak Direktur menjabat tanganku.
            “ Terimakasih Pak, saya tidak akan mengecewakan perusahaan ini, “ jawabku antusias.
            “ Bagus ! saya menaruh kepercayaan besar kepada Ibu … “ Pak Direktur mencoba membuka kembali CV untuk mencari namaku.
            “ Mira pak, Miranti “ Sentakku.
            “ Oh baik Bu Mira, Selamat datang di jajaran para manajer” Ia tersenyum. Aku tersenyum.
            Selamat tinggal Kasmirah, mulai hari ini izinkan aku mengambil alih hidup kita dan mengurung sejarah dalam sebuah ruang tertutup selamanya agar menjadi pengingat bahwa kita tak boleh lemah dan tak berdaya di hadapan siapapun.

                                                ****


Wednesday, May 27, 2020

SELAMAT


SELAMAT

(Oleh: Andini Naulina)

Pagi ini aku bergidik mengingat mimpi yang sama yang selalu bertamu sejak malam pengantin. Ini sudah masuk minggu kedua sejak aku menikah,aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku sehingga aku menjadi begitu ketakutan. Aku memang tak mau bercerita pada siapapun terutama pada orangtuaku tapi sepertinya harus diungkapkan jika aku tak ingin dikejar oleh mimpi itu lagi.
***
Siang itu, aku berjalan keluar pintu kelas setelah dua jam mengikuti mata kuliah Consumer Behavior. Aku mengenakan celana katun longgar, kemeja panjang dan sepatu keds. Rambutku yang panjang aku cepol ke atas dan bibirku tak kupulas dengan apapun. Kakiku melangkah ke dalam kantin kampus dimana Teddy dan Angga sedang asyik menikmati es teh manis di siang yang terik ini.
“Ga, Ted… gue mau putus dari Tio.” Ujarku dengan tampang kosong dan tak sedikitpun menoleh ke arah mereka berdua. Angga dan Teddy berhenti menyesap es teh manis bersamaan kemudian menoleh padaku yang masi mematung dengan tatapan lurus ke arah mbok kantin.
“ Lo lagi sakit vi?.” Teddy menaikturunkan telapak tangannya di depan wajahku. Mataku sama sekali tak berkedip tak juga tergoda dengan lesung pipinya yang muncul karena mencoba tersenyum menghiburku.
“Lo ada apalagi sama Tio?.” Angga bergerak mendekat dan tangan kanannya merangkul bahu kananku. Tak berapa lama aku menangis. Teddy berusaha duduk tepat di depanku agar tak ada orang lain di kantin yang melihat kejadian ini.
“Gue udah gak kuat, Tio kasar!.” Angga hanya mengangguk seolah dia tahu betul perasaanku lalu terdiam.
Teddy mematung , matanya menatap Angga mengisyaratkan kebingungan. Angga hanya menarik nafas panjang.
“Tadi malem tuh gue sebel banget sama dia karena satu hal terus gue mau pulang sendiri tapi dia larang alasannya sudah malam. Padahal tuh masih jam 7 malam, gue juga pernah diusir dia jam 9 malem pas lagi ribut terus gue naik taxi. Tapi gitu deh, dia kumat dan gue langsung ditarik ke mobilnya dia. Gue berontak karena gue gak mau deket sama dia, eh tiba tiba gue langsung ditinju dan dicaci maki.” Mukaku terasa panas mungkin memerah mengingat kejadian tadi malam yang membuatku marah dan sedih. Mengapa aku bisa diperlakukan seperti itu oleh kekasihku, calon suamiku. Apakah aku tak berharga di matanya? Apakah aku termasuk wanita bodoh yang diberitakan oleh koran pos kota atau berita sore di televisi? yang termasuk kategori berekonomi rendah dari keluarga tak terpandang yang disakiti oleh suaminya sndiri . Paling tidak, aku pernah menghina mereka karena pilihan pasangan mereka saat aku menonton atau membaca berita tentang wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Kini, tanpa kusadari ternyata aku mengalaminya sendiri dan bukan untuk yang pertamakali namun kesekian kali. Entah apa yang membuatku bertahan, aku hanya merasa takut jika aku harus berpisah dengannya.
“ Vi, lo udah sering mengalami ini?.” Teddy yang dari tadi kebingungan pelan pelan memberanikan diri bertanya padaku. Angga terlihat sedikit mengangguk. Aku memang sering bercerita pada Angga karena kebetulan dia salah satu mahasiswa Pascasarjana yang terpandai di angkatanku sehingga aku sering berkomunikasi padanya setiap selesai kuliah.
“Ngga nyangka ya Tio kayak bgitu, dia kelihatan nice, smart, gagah, sukses dan sempurna tapi….. lo yakin kan bukan lo yang cari gara-gara? Emang apa masalahnya?” Tanya Teddy lagi.
“ Ya lebih banyak ke cemburuan.. sama kalian juga dia cemburu. Apalagi Angga, kan gue soal kuliah dikit dikit tanya Angga. Tapi gue kan gak pernah jalan berduaan sama Angga satu mobil untuk nonton bareng atau makan bareng atau apalah. Nah tadi malem itu gue baca pesan singkatnya dia dengan salah satu teman kantornya. Cewek itu bilang: Makasih ya mas.. makan siang berdua yang sangat berkesan, udah diantar jemput ditraktir terus diajak nonton lagi..sering sering yaa” kataku mengingat jelas isi pesan cewek tersebut. “Terus.. Tio jawab, iya Lia.. biar kamu semangat kerjanya kapan kapan kita lunch berdua lagi ya.” Lanjutku dengan ingatan yang sangat jelas.
“Terus kalo Tio yang salah kenapa jadi lo yang kena sasaran?.” Tanya Angga.
“ Ya jadi kan gue ngambek dong, gue mau pergi dari rumahnya, gue mau pulang ke kost gue. Tapi dia ngejar gue, narik gue masuk ke dalam mobil. Di mobil gue berontak, gue mau turun dan gue gak mau ngomong sama dia. Ya akhirnya tinju mendarat di kaki dan tangan gue terus semua hewan kebun binatang keluar dari mulutnya. Nih!.” aku menggulung celanaku sampai ke lutut sehingga Angga dan Tio dapat melihat bulat bulat biru keunguan meyebar di bagian kaki dan betis. Mata teddy dan Angga terbelalak. “Nih lagi.” Aku menggulung lengan kemejaku hingga ke atas siku. Teddy dan Angga kembali melihat bulatan biru tersebut menyebar di bagian lenganku kemudian saling bertatapan.
“Ya sudah vi, kali ini keputusan lo sudah tepat yaitu mengakhiri hubungan lo dengan Tio. Gue dan Teddy support lo. Lo putusin lewat pesan singkat aja, gak usah ketemuan langsung. Gue khawatir nanti ada apa-apa mengingat sifatnya yang temperamen.” Pesan Angga terhadapku. Aku mengangguk dan meminta mereka mengantarku pulang ke kost.
***

Hari ini hari Sabtu, sudah seminggu aku jujur pada Teddy dan Angga terhadap kelakuan Tio dan ingin memutuskan Tio. Perasaanku saat ini sudah kembali normal. Aku tidak marah lagi. Rasanya aku akan memaafkan dan menerima kesalahan Tio. Tio paling bisa mengambil hatiku. Sejak kejadian itu, setiap hari dia mengirim pesan permintaan maaf dan menyesal bahkan mengirim video dirinya menangis dan merana karena kehilangan aku. Dia juga berusaha datang ke kost untuk menemuiku setelah pulang kantor untuk mengajak makan malam seperti biasa. Namun, aku selalu berpesan pada satpam kost agar selalu bilang pada Tio bahwa aku tidak mau bertemu dengannya. Tio terlihat sabar dan setiap kali datang ia selalu siap siap membawa makanan untukku jikalau aku masih tidak bersedia menemui dirinya.
Aku baru akan berdandan ketika telepon selulerku berbunyi dan layarnya tertera nama Angga.
“Vi lo dimana?.”
“di kost, kenapa Ga?.”
“Gw sama Teddy on the way kesana ya bawain makanan buat lo.”
“oh oke.”
Lima belas menit kemudian pintu gerbang kost terbuka, aku sudah menitip pesan pada satpam bahwa sebentar lagi temanku akan tiba. Angga memarkirkan mobilnya di halam an kost yang luas. Ia keluar mobil diikuti oleh teddy dan seorang pria yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Aku menggerai rambut hitam sebahuku ,mengenakan rok jeans selutut, T-shirt pendek warna putih, memoles bibirku dengan lisptik warna pink nude senada dengan blush on tak lupa sandal teplek berframe H di bagian atasnya. Teddy, Angga dan pria tak dikenal yang bertampang lebih senior berjalan menuju ruang tamu kost.
“Hai…duduk siniii ini siapa?.” Tanyaku kepada pria senior asing tersebut.
“Alim.” Jawab laki laki itu sambil menjabat erat tanganku dan matanya seolah memaku mataku. Aku berusaha melirik pada Angga dan Tio meminta penjelasan soal siapakah gerangan pria senior yang ada di hadapanku ini?
“Oh… Mas Alim… saya Vivi, temannya Angga dan Teddy.” Aku tersenyum sambil berusaha melepaskan jabatan tangan kuat itu dan menyilakan dia untuk duduk. Angga dan Teddy hanya tersenyum cengar cengir.
“Vi, kirain lagi mellow, kok lo hari ini keliatan berseri seri? Kita kesini mau memastikan keadaan lo nih kita bawain cakwe kesukaan lo.” Teddy menaruh cakwe di atas meja, membukanya lalu mencomot satu dan memasukkan ke dalam mulutnya.
“Ooh kesukaan gue apa kesukaan lo? Buat gue apa buat lo?.” Sindirku sambal tertawa garing.
“Gimana Vi, lo jadi kan mutusin Tio?.” Angga bertanya serius. Aku terdiam melihat ke arah cakwe. Kasihan Angga, dia pasti bosan mendengar hal ini. Tiap kali aku memutuskan untuk pisah dengan Tio selalu aku batalkan. Namun, baru minggu lalu aku menunjukkan bukti kekasaran Tio pada Angga dan Angga bersikeras bahwa aku kali ini harus benar benar pisah dengan Tio.
“Mm… gue sih sekarang udah gak sakit hati lagi Ga… ini udah hampir seminggu gue gak ketemu Tio tapi selama itu dia merengek maaf sama gue dan menyatakan menyesal tidak akan mengulangi.” Aku tak berani menatap mata Angga yang sepertinya sedang mengernyit tanda  tak mengerti.
“terus?.” tanya Angga seolah dia tak puas dengan jawabanku.
“Iya…trus gue fikir,mungkin gue akan memaafkan dia.” Teddy mendadak keselek cakwe, Angga menarik nafas panjang menahan dan melepaskannya perlahan, Mas Alim hanya mengangguk angguk.
“Eh Ted lo ga kenapa kenapa kan? Bentar ya gue ambilin air dulu.” Aku masuk ke kamar mengambil beberapa aqua gelas lalu menyodorkannya kepada Teddy. Teddy langsung menenggak habis air dalam kemasan tersebut.
“Lo tu sebenernya maunya apa sih vi? Lo mau babak belur lagi?.” Angga menatap tajam padaku.
“ Ya kan dia udah minta maaf Ga, dia janji gak melakukan itu lagi, dia kelihatan sangat menyesal.” Ujarku sambal mencomot cakwe.
“ Sekarang gue tanya, dulu dulu pas dia mukulin elo, dia pernah minta maaf dan berjanji untuk gak melakukan lagi ga?.” tanya Angga. Aku berhenti mengunyah, berfikir sebentar dan mengangguk pelan. Angga membalikkan kedua telapak tangannya ke atas seolah menyuruhku untuk berfikir kembali.
“ Lo sebenernya udah berapa kali sih vi mengalami ini?.” tanya Teddy heran.
“sering.” Jawabku sambil lanjut mengunyah cakwe.
“ Lo kenapa bertahan?.” tanya Teddy dengan mulut menganga dan alis mengangkat.
“Yah… kan lo berdua tau, target gue menikah maksimal 25 tahun. Nah gue kan sekarang udah 24 tahun. Gue udah dua tahun pacaran sama Tio. Dia udah janji untuk melamar gue setelah gue mendapatkan gelar Master gue.” Jelasku. Teddy dan Angga hanya saling bertatapan.
“Tenang…. Kamu ulang tahun akhir tahun ini kan? Berarti kira kira 5 bulan lagi ya?.” Tiba tiba Mas Alim membuka suara. Aku terkejut mendapati Mas Alim menebak ulang tahunku.
“Loh kok tau mas?.” Tanyaku sambil mencurigai Teddy dan Angga. Teddy dan Angga hanya mengangkat bahu bersamaan.
“ Gue emang sengaja ngajak Mas Alim kesini dan dari tadi gak jelasin siapa Mas Alim”. Ujar Angga. “Mas Alim itu temen kost gue, dia sering punya firasat mendekati benar terhadap lawan bicaranya. Dari tadi Mas Alim memperhatikan lo, gue tau lo akan labil seperti ini. Gue penasaran apa yang membuat lo labil sehingga lo susah banget memutuskan Tio padahal lo sering disakiti.” Lanjut Angga. Aku tak peduli. “ Apa jangan jangan lo tu udah dipelet sama dia?.” Kata Angga lagi.
“Huss sembarangan hari gini nuduh orang main pelet.” Jawabku sewot.
“ Ya lalu apa dong?.” Tanya Angga lagi.
“Ya kan gue udah bilang, target gue menikah itu umur 25 tahun, berarti kan tinggal 6 bulan lagi.”  Jelasku.
“Emang keluarga Tio sudah ada yang datang?.” Tanya Teddy.
“Ya belum sih… katanya ntar kalo udah lulus, Kira kira 3 bulan lagi kan kita wisuda.” Kataku. “Eh tunggu deh, tadi Mas Alim bilang aku bakal ketemu jodohku pas ulang tahun ini?.” Aku menoleh pada Mas Alim. Mas Alim mengangguk. “Jodohku itu pacar aku yang sekarang bukan?.” Tanyaku antusias.
“Bukan.” jawab Mas Alim singkat.
“Ah ga mungkin…” Kataku.
“Kenapa ga mungkin?.” tanya Angga.
“ Tio pernah bilang, ga akan ada lagi yang mau sama aku.” Jawabku. Angga dan Teddy mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kenapa emangnya?.” Tanya mereka serentak.
“ Kata dia karena gue punya penyakit.”
“Emang lo sakit apa?.” Tanya Angga.
“Diabetes.”
“Udah periksa?.”
“Belum.”
“Ada riwayat keluarga?.”
“Ngga ada, orang tua gue ga ada yang diabetes.”
“Terus kok dia bisa vonis begitu?.”
“Karena dia sering liat gue minum teh botol.”
Angga dan Teddy bertatapan lagi, lalu bersamaan menghela nafas panjang dan kembali menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi. Mas Alim tertawa.
“Eh kalian kenapa sih? Aneh!.” Tanyaku sewot.
“Kamu tuh manis tapi polos dan gak pedean.” Ujar Mas Alim. “Mereka udah mikir yang nggak nggak waktu pacar kamu bilang gak akan adalagi yang mau sama kamu.” Mas Alim, Angga dan Teddy tertawa geli. Aku menepuk jidat.  
****
Malam ini malam minggu, Angga Teddy dan Mas Alim sudah pulang. Aku sendirian di kost terbaring di kasur sambil berusaha mengulang kembali pembicaraan tadi siang dan sesekali menolak telepon dari Tio. Kali ini aku harus benar benar bertanya pada diriku sendiri. Jika aku putus dari Tio maka aku tidak jadi menikah. Kalau aku tidak menikah nanti papa mama akan sedih karena aku anak perempuan terakhir yang belum menikah. Lalu para tetangga akan mulai berbisik bisik membicarakan kandasnya hubunganku walaupun sudah dua tahun pacaran dengan seorang laki laki yang sering diajak ke rumah bertemu mama dan papa. Lalu teman teman satu per satu akan menikah dan meninggalkanku melajang sendirian. Namun jika aku ingin semua itu tak terjadi maka aku harus menikah dan tidak bahagia. Tunggu….aku tidak bahagia? Aku tak percaya kali ini diriku berkata jujur.  Yup aku tidak bahagia jika menikah dengan Tio!! Jadi mengapa aku selama ini bertahan? Aku baru tersadar ternyata aku hanya ingin memuaskan semua orang dan aku terpengaruh ucapan Tio yang mengatakan bahwa tak akan ada pria lain yang mau meminangku. Kemudian aku teringat dengan ramalan Mas Alim bahwa aku akan bertemu dengan jodohku enam bulan lagi.

****
Enam bulan berlalu, kini aku telah berbahagia. Ternyata ramalan Mas Alim benar, aku bertemu jodohku seminggu sebelum ulang tahun dan dia melamarku sebulan kemudian. Sekarang aku sudah dua minggu menikah dan aku sudah memberanikan diri untuk menceritakan masa laluku kepada suami dan kedua orangtuaku. Reaksi suamiku adalah memelukku erat dan memastikan bahwa rumah tangga yang akan kami jalani tidak akan pernah ada kekerasan di dalamnya sedangkan reaksi kedua orangtuaku adalah kaget setengah mati karena tidak percaya dengan perlakuan Tio yang sehari hari terlihat manis dan sempurna itu ternyata menyakiti fisik dan bathin putri bungsunya. Meskipun begitu, yang paling penting adalah aku selamat dari menjalani bahtera rumah tangga dengan seorang pria tampan berhati serigala karena aku berani untuk mengatakan tidak pada kekerasan di dalam suatu hubungan.