Live Learn and Write

a piece of short stories everyday

Sunday, July 5, 2020

Batik Lawas

BATIK LAWAS

Oleh: Andini Naulina


            Rumah yang baru kubeli di daerah Jakarta Selatan setengah tahun lalu akhirnya sudah selesai direnovasi. Aku membuat rumah dengan model Rumah Joglo yang terasnya luas tak bersekat dan di tengahnya disokong oleh  empat pilar-pilar kayu jati . Konon, Rumah Joglo dianggap bukan sekedar rumah melainkan lambang kekayaan karena biasanya Rumah Joglo hanya mampu dimiliki oleh orang orang yang kondisi finansialnya bagus. Interior rumah ini penuh dengan hiasan batik-batik lawas dengan bingkai kayu yang kemudian menjadi semakin cantik disorot oleh pencahayaan accent light. Perabotannya pun didominasi oleh kayu jati karena aku sangat keranjingan dengan lemari atau kursi seperti  kepunyaan Eyang Putri sebelum rumahnya terbakar. 
 “ Wow good job babe! “ Arya bertepuk tangan kencang. Aku yang sedang asik menikmati teras di rumah baru celingukan mencari empunya suara. Arya muncul dari pintu pagar. 
“ Gila! Hampir saja jantungku copot! ” Aku berdiri menyambut Arya si pria yang tampan, tinggi , berkulit sawo matang , lebih muda dariku dan sudah setahun menjadi pacarku.  Aku baru akan memeluknya akan tetapi Arya sudah melayangkan kecupan dan melumat bibirku, kedua tangannya memeluk pinggang dan mengangkat tubuh mungilku mendekap erat hingga aku hampir kesulitan bernafas. 
“ Kangen, “ katanya. Ia melepasku kemudian menggenggam tanganku. Aku menghela nafas.  “Yuk kita berangkat sekarang? “ Tangannya menarik tanganku sehingga aku ikut tergeret langkahnya. 
“ Wait, kamu gak mau tur rumah baruku dulu? “ Aku menghentak genggamannya. Arya ikut berhenti kemudian pandangannya teralihkan oleh penampilanku, ia memperhatikan dari ujung rambut sampai ke kaki.
“ Wow! You are so gorgeous!... Aku pangling melihat kamu mengenakandressmini berwarna putih, bertelanjang kaki dan rambut tergerai kayakgini. Kamu seperti bukan Ibu Miranti yang terkenal garang di kantor, ” Arya tertawa menggoda, matanya berbinar seakan dia baru pertama kali bertemu denganku. 
 “ Jadi aku kalodi kantor keliatan garang ya? Kokkamu mau sama aku? “ aku berbalik badan sambil mengibaskan rambut. Arya menyusul kemudian memeluk pinggangku.
“ Welljustru aku suka wanita yang dominan di luar tapi keibuan di dalam… Anyway tur kan bisa nanti, kasihan orangtuaku sudah menunggu kita di rumah. Lagipula sebentar lagi kankita jadi suami istri jadi bisa lebih banyak waktu menikmati rumah ini, “ godanya.
“ Cheesy. “ Aku mencubit pinggang Arya. Arya tertawa lagi.
“ By the waywhere’s the restroom? “ Tanyanya.
“ Itu, di ujung ruangan di pintu kedua dari kanan, “ jawabku. Arya melangkah menuju arahanku.
Sambil menunggu Arya menyelesaikan urusannya di kamar mandi, aku pun menyiapkan diri mulai dari menyisir rambut kemudian mengulas tipis bibirku dengan lipstick berwarna nude dan terakhir menyemprot cologneJustmine by Jo Malone di leher dan lengan bawah bagian dalamAku tak bermaksud membuat kedua orang tua Arya menyukaiku maka aku akan tampil sederhana dan apa adanya saja. Lagipula sebenarnya bukan keinginanku untuk dikenalkan ke mereka karena aku selalu canggung dan cenderung sarkasme bila bertemu dengan orangtua siapapun juga. Itulah sebabnya aku masih sendiri sementara orang lain seusiaku sudah berkeluarga. Tiba-tiba ponselku berdering, aku mencari-cari benda itu namun arah suaranya bukan dari sekitarku melainkan dari arah kamar sebelah kamar mandi. Aku segera berlari ke kamar itu dan di situ aku melihat Arya sedang menggenggam ponselku, tangan satunya menutup hidung sambil jongkok menghadap sebuah bingkai di sebelah lemari kayu tua yang sedikit terbuka memperlihatkan kain-kain batik kuno beraroma lapuk.  Tatapannya fokus terhadap satu- satunya hiasan dinding yang belum terpasang di rumah ini yang bukan batik lawas melainkan potongan in depth storydari Koran Nasional soal kebakaran Rumah Joglo di Desa Wirobrajan, Yogyakarta pada tahun 1991. 
“ Arya! Kamu lagi ngapain di sini? Kamar mandi ada di sebelah kamar ini. “ Aku menarik Arya agar ia mau keluar dari kamar itu. Kaki Arya sama sekali tak mau bergerak, ia masih saja membaca tulisan-tulisan yang ada di dalam bingkai. Aku mulai panik, dadaku terasa sesak.
 “Arya PLEASEkeluar! “ Aku menarik punggungnya hingga ia berbalik melihatku yang sedang menunjuk tangan ke arah pintu sambil melotot. Aku mengutuk diriku yang lupa mengunci kamar rahasia ini. Tak boleh satu pun orang yang masuk kamar ini selain aku karena kamar ini adalah bagian diriku yang lampau dan aku belum siap membaginya kepada siapapun juga. Arya tercengang, ia tak pernah melihatku membentaknya sehisteris itu. 
“ Mira kamu kenapa? Kenapa di lemari itu banyak batik-batik usang yang baunya busuk dan ada apa dengan cerita di dalam bingkai foto itu? Mengapa ada gambar rumah joglo yang terbakar? Itu rumah siapa? “ Arya mencengkeram dan sedikit mengguncang bahuku. 
“ Kamu terlalu banyak bertanya, Arya. Sebaiknya kita batalkan saja pertemuan dengan orang tuamu hari ini,” tukasku. Aku berlari menuju pintu luar dan menunggu Arya mendekat lemas dan menunduk.
“ Mira , Sayang… maafkan aku kalau aku terlalu mendesak kamu. Tapi kalau kamu sudah tenang dan bersedia menjelaskan,  aku akan selalu ada untuk kamu,” bujuknya. 
“ Tidak sekarang, aku minta kamu pergi.” Aku menutup pintu dan membiarkan Arya sendiri di luar.
                                                             ***


Ibuku bernama Ayu Sophia. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga terpandang di Desa Wirobrajan, Jawa Tengah. Ayu dalam Bahasa Jawa adalah jelita sedangkan Sophia dalam Bahasa Yunani adalah bijaksana. Eyang Putri memberikan nama itu dengan harapan agar Ayu menjadi gadis cantik yang bijaksana. Namun pada kenyataannya, Ia tumbuh menjadi seorang gadis cantik yang manja dan keras kepala. Kondisi finansial almarhum Eyang Kakung yang melimpah  membuat semua keinginan ibu terpenuhi. Ketika Eyang Kakung meninggal dunia, ibuku baru berusia dua puluh tahun dan ia memutuskan untuk menunda kuliahnya dan menikah dengan teman sekelasnya. Tentu saja Eyang Putri menentang tetapi ibuku malah nekat melarikan diri dan menikah siri dengan pria tersebut. Setahun kemudian yaitu awal Tahun 1981, Ibu kembali ke rumah dengan kondisi hamil tua tanpa suami yang menemaninya. Eyang Putri merasa iba karena bagaimanapun juga ibu adalah anak kandungnya. Sebulan kemudian lahirlah seorang bayi kurus dengan berat hanya 2,5 kilogram dan diberi nama Kasmirah. Eyang putri memberikan nama Kasmirah untukku dengan harapan agar aku menjadi wanita yang pandai menyimpan rahasia, kuat, percaya diri dan pintar mengendalikan situasi. 
“Mengapa Eyang berharap agar Mirah menjadi wanita seperti itu? “ tanyaku ke Eyang Putri ketika aku berusia sepuluh tahun. Sore itu kami berdua sedang duduk-duduk di teras Rumah Joglo milik Eyang. Tangan Eyang yang keriput meraih kepalaku dan menempatkan di pahanya yang berbalut kain batik kuno. Kedua tanganku memeluk kakinya kemudian wajahku kuarahkan ke kain batik Eyang, kuhirup aromanya sedalam mungkin kemudian perasaan tenang itu datang menyelimuti hati. 
“ Kamu pasti kelak akan mengetahui nduk,kali ini Eyang yakin kamu akan menjadi sesuai harapan Eyang. “ Eyang membelai rambut lurusku, jemarinya seolah mengantarkan energi positif berasal dari doa- doa yang setiap hari Ia panjatkan untukku. 
“ Yang, sepertinya waktu kecil Mirah selalu bermimpi melihat ibu dan seorang pria menarik-narik tubuh Mirah. Saya kesakitan sampai menangis, lalu Eyang selalu datang dan memarahi laki-laki itu. Saya diambil dan digendong Eyang pakai kain batik Eyang lalu saya berhenti menangis karena saya tau saya sudah selamat di pelukan Eyang kemudian karena terombang ambing ke kanan dan ke kiri akhirnya saya bisa tidur pulas. “ Tiba-tiba jemari Eyang berhenti membelai kemudian mengangkat bahuku sehingga aku terbangun menatap wajah Eyang yang semakin keriput. “Kenapa Yang? “ tanyaku.
“ Kamu inget itu nduk? “
Aku mengangguk, “ mimpi itu sepertinya sangat nyata jadi saya selalu teringat.”
Eyang memelukku agak lama kemudian aku mendengar isakan tangis, aku melepas pelukan Eyang dan melihat mata Eyang sudah basah. “ Itu ayahmu, waktu kamu lahir ia tak mau bertanggung jawab dan menelantarkan kamu dan ibumu. Setahun kemudian dia selalu datang meminta uang pada ibumu karena ia tak mampu lagi untuk membiayai kuliahnya dan tak punya pekerjaan . Jika kami tak memberinya maka ia akan mengancam untuk merebutmu.”
“ Sekarang bapak dimana Yang? “
“ Maafkan Eyang nduk,kami terpaksa melaporkannya ke polisi agar bisa hidup tentram tetapi ternyata bapakmu tak kuat mental. Ia depresi dan akhirnya bunuh diri. OpoKowemau mengunjungi makam bapakmu nduk? “
“ Kalau dibolehkan Eyang. ” Aku kembali memeluk paha Eyang dan menghirup wangi tua dari kainnya. 

***
            Sore itu ternyata adalah perbincangan terakhir aku dengan Eyang. Aku tak mau keluar dari kamar dan selalu menangis selama satu bulan . Aku memeluk semua kain-kain Eyang dan menghirup aromanya  sampai-sampai tubuhku pun sudah berbau sama dengan Eyang. Ibu beberapa kali mencoba membuatku keluar kamar dengan caranya yang khas yaitu mengancam. Sejak kecil komunikasinya terhadapku adalah sebuah ancaman. Jika aku tak mau makan maka aku tak akan mendapat hadiah. Jika aku tak mau mandi maka aku tak boleh digendong Eyang. Jika aku tak menurut maka semua mainanku dibuang. Kali ini aku tak peduli dengan ancaman-ancamannya lagi. Apalagi sejak ia menikah dengan pria yang baru dijumpainya  setelah enam bulan Eyang meninggal dunia. Ia benar-benar wanita rapuh yang selalu butuh pria untuk mengusir kesedihannya. Ia tak bisa melewatinya hanya bersamaku saja.
            Baru sebulan usia pernikahan mereka, aku selalu lihat ibu dipukuli setiap malam lalu pria itu akan pergi sampai pagi dan terkadang pulang dalam keadaan mabuk. Seingatku, aku tak pernah melihat ibu bahagia dan aku  selalu terkena imbasnya. 
            Pada suatu pagi, kulihat lelaki itu terbangun dari kursi ruang tamu. Ibu sedang keluar rumah entah pergi kemana. Aku yang baru keluar dari kamar mandi dan masih berbalut handuk langsung lari masuk ke kamarku. Namun terlambat, suaminya ibu langsung menubrukku dari belakang sehingga aku tersungkur di atas tempat tidur. Aku berontak dan berusaha teriak tetapi apa daya aku tak dapat mengelak sebab tubuh lelaki itu sangat berat sementara tangan kirinya mendekap mulutku sedangkan tangan kanannya membuka balutan handukku dan menurunkan celananya lalu menarik perutku ke arah kemaluannya. Aku menangis kesakitan, pandanganku buyar dan gelap tak lama kemudian lelaki itu mengerang lalu mencampakkanku sambil mengancam agar aku tak menceritakan hal ini kepada ibu. Lelaki itu pergi entah kemana kuharap ke neraka. Aku hanya bisa menangis melihat darah mengotori sprei dan menahan sakit di daerah selangkanganku.
            “Ya Ampun Kas!! Kamu habis ngapain? “ tiba-tiba ibu datang. Aku tak sadar masih telanjang dan berdarah. Aku hanya bisa tergagu.
            “ Su-suami i-ibu yang melakukannya! “ 
            “ Apa?!! Dasar kamu anak durhaka! “ Ibu memukuli dan mencubitku kemudian pergi entah kemana. Kuharap mereka berdua sama sama ke neraka. Aku masih menangis sambil tertatih-tatih meraih kain Eyang dari lemari lalu kupeluk dan kuciumi sampai perasaan tenang itu datang dan kemudian aku tertidur. 
            Aku terbangun tepat pukul sebelas malam, kukenakan pakaianku lalu mengendap-endap ke kamar ibu. Kulihat ibu tidur berdua dengan bajingan itu. Aku pergi ke dapur mencari makan tapi tak kutemukan satu pun makanan melainkan korek api dan jirigen minyak tanah di pojok dapur. Aku teringat Eyang suka membakar sampah dengan dua benda itu. Aku mengambil jirigen dan menuangkan isinya ke sekeliling rumah kemudian menyalakan korek dan melemparkan ke kamar ibu. Sekejap api menyala dan membesar, aku lari ke kamar Eyang kemudian masuk ke dalam lemari kayu dan menyelimuti diri dengan kain kain Eyang. 
            Keesokan paginya aku terbangun di pekarangan rumah, orang-orang berkerumun melihat rumah joglo terbakar. Aku heran diriku tak ikut terbakar namun kuharap ibu dan suaminya sudah di neraka. Seorang wartawan meliput kebakaran itu, ia banyak bertanya namun tak satupun pertanyaannya yang kujawab. Seorang perempuan separuh baya yang kenal dekat Eyang Putri mengatakan bahwa kedua orangtuaku sudah tiada dan ia menawarkan diri untuk mengasuhku. Aku dibesarkan olehnya  dengan baik hingga lulus SMA kemudian ketika aku hendak pamit merantau ke Jakarta, Ibu asuhku  memberikan guntingan surat kabar yang isinya foto dan berita tentang kebakaran rumah Eyang pada tahun 1991. Aku membawa dan menyimpannya beserta kain-kain Eyang yang tak terbakar. 
            Tak sulit bagiku memperoleh pekerjaan di Jakarta karena selain mempunyai ijazah akupun mempunyai paras yang menawan. Aku diterima sebagai SPG kosmetik di sebuah mall dan berhasil menjual sesuai target setiap hari. Suatu hari aku dipanggil ke kantor pusat untuk menerima kenaikan pangkat.
            “ Selamat , Anda kami promosikan menjadi manajer cabang. Semoga di cabang yang baru Anda dapat meningkatkan target penjualan, “ Pak Direktur menjabat tanganku.
            “ Terimakasih Pak, saya tidak akan mengecewakan perusahaan ini, “ jawabku antusias.
            “ Bagus ! saya menaruh kepercayaan besar kepada Ibu … “ Pak Direktur mencoba membuka kembali CV untuk mencari namaku.
            “ Mira pak, Miranti “ Sentakku.
            “ Oh baik Bu Mira, Selamat datang di jajaran para manajer” Ia tersenyum. Aku tersenyum.
            Selamat tinggal Kasmirah, mulai hari ini izinkan aku mengambil alih hidup kita dan mengurung sejarah dalam sebuah ruang tertutup selamanya agar menjadi pengingat bahwa kita tak boleh lemah dan tak berdaya di hadapan siapapun.

                                                ****


No comments:

Post a Comment