Live Learn and Write

a piece of short stories everyday

Friday, February 12, 2021

Review Novel : Pulang (Leila S Chudori)

 

 

 

 



 

Review Novel

 

Judul                         : Pulang

Penulis                     : Leila S Chudori

Penerbit                    : Kepustakaan Populer Gramedia

ISBN                         : 978-602-424-2756

Halaman                   : 461 hal

Ilustrator                  : Daniel “Timbul” Cahya Krisna

Pereview                : Andini Naulina

 

Kalau aku mampus, tangisku/yang menyeruak dari hati/akan terdengar abadi dalam sajakku/yang tak pernah mati .(Chairil Anwar)

 

Bait sajak dari penyair angkatan ’45 itu dikutip oleh Dimas Suryo dalam suratnya kepada Lintang Utara, putri semata wayangnya. Dalam surat itu ia telah memutuskan ke mana ia akan pulang setelah bertahun-tahun berkelana mencari suaka dan terdampar di Paris akibat ‘perzinahan politik’ yang pernah dilakukannya. Dimas dan kawan-kawannya ; Nugroho, Risjaf dan Tjai selalu berharap dapat kembali ke tanah air yang terpaksa mereka tinggalkan selama puluhan tahun sejak tahun 1965. Demi bertahan hidup, dengan keahlian memasak yang dimiliki oleh Dimas, mereka berempat mendirikan restoran yang diberi nama Tanah Air yang terletak di Rue de Vaugirard. Restoran tersebut bukan hanya sekadar mengenalkan kuliner dan kebudayaan Indonesia pada warga asing melainkan juga menjadi obat rindu bagi perantau nusantara termasuk tahanan politik dan keluarganya yang dicekal oleh pemerintah Indonesia.

Dimas yang masih menyimpan perasaan pada Surti -mantan kekasih sekaligus istri dari sahabatnya yang hilang diculik- akhirnya menikah dengan wanita Prancis bernama Viviene Deveraux. Pernikahan mereka dikaruniai seorang putri bernama Lintang Utara. Namun, pernikahan itu tak bertahan lama karena baik Viviene maupun Lintang mendapati kenyataan bahwa hati Dimas masih memiliki Surti dan tidak pernah menganggap Prancis sebagai rumahnya. Sikap Dimas yang anti pada orang-orang kaya termasuk pada kekasih Lintang yang bernama Naratama, merenggangkan hubungan ayah dan anak. Namun, seperti sudah takdirnya, Lintang yang hampir menamatkan kuliah sinematografi di Universitas Sorbonne itu diminta dosen pembimbingnya untuk membuat film dokumenter tentang kesaksian keluarga dan para tahanan politik Indonesia tahun 1965. Akhirnya, Lintang berdamai dengan Dimas dan pergi ke Jakarta sendirian berbekal daftar nama calon responden dari ayahnya dan kawan-kawan. Bulan Mei tahun 1998, suasana politik di Jakarta sedang memanas. Mahasiswa dan para tokoh perjuangan semakin lantang meneriakkan reformasi dan meminta Presiden Suharto lengser dari jabatannya.Lintang tiba di Jakarta dan bertemu dengan Alam, seorang aktivis dan juga anak bungsu Surti. Ia terjebak dalam cinta segitiga sekaligus pergolakan politik di Indonesia.

 

Novel ini mengambil setting sepanjang pemerintahan orde baru yaitu sejak tahun 1965 hingga 1998. Isinya lebih banyak menguak curahan hati para eksil politik yang terdampar di Prancis, berdasarkan kisah nyata dan dikerjakan dengan riset yang detil. Mungkin itulah salah satu sebabnya mengapa novel ini baru selesai di tahun 2012 padahal mulai dikerjakan sejak tahun 2006. Seperti halnya dengan novel Leila yang terbaru yang berjudul Laut Bercerita, ada persamaan pada kedua tokoh utamanya; Dimas dan Laut. Keduanya sama-sama aktivis, mahasiswa sastra, pintar memasak, berasal dari Solo dan Bapaknya mendidik mereka dengan buku sastra. Alurnya juga menggunakan alur campuran, menggunakan POV 3 dan beberapa POV 1 sehingga cukup membingungkan. Endingnya terbuka, settingnya lebih banyak di Paris sehingga ada beberapa kata yang menggunakan bahasa Prancis. Meskipun demikian, novel ini masih “ringan” untuk dinikmati sebab Leila sangat piawai bercerita dengan gaya bahasa yang sederhana. Membaca buku ini, akan memberikan wawasan baru tentang sejarah yang ditutup-tutupi. Paling tidak, menjadi sumber informasi dari pihak “yang lain” yang selama ini hilang dari pelajaran sejarah.Novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dan Italia. Selain itu, juga memenangkan Prosa Terbaik Khatulistiwa Award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari "75 Notable Translations of 2016 oleh World Literature Today".

 

Tuesday, February 9, 2021

Review Film Little Women (2019)

 

 

 

 

 


 

 

Review Film Little Women

 

Judul                         : Little Women

Sutradara                  : Greta Gerwig

Produksi                    : Columbia Pictures

Tanggal Rilis            : 7 Desember 2019

Negara                      : Amerika Serikat

Sinematografi           : Yorick Le Saux

Pemeran                   : Saoirse Ronan, Emma Watson, Florence Pugh, Eliza Scanlen, Timothee Chalamet, Laura Dern, Meryl Streep

Pereview                   : Andini Naulina

Nonton di Netflix

 

 

“I’ve had lots of troubles, so I write jolly tales.” (Louisa May Alcot). Itulah quote dari sang penulis novel Little Women yang diadaptasi ke dalam film ini dan dimunculkan di awal pemutaran film. Namun, keriangan bukan hanya satu-satunya kata yang sesuai untuk dilontarkan pada film ini melainkan juga haru, rindu, empati dan hangat.

 

Film ini mengambil setting tahun 1860-an ketika Amerika sedang menghadapi perang saudara. Jo March adalah seorang penulis wanita yang sangat menyayangi keluarganya dan berpendirian kuat untuk tidak menikah. Ia mempunyai masa kecil yang bahagia bersama ketiga saudara wanita, ibu, dan sahabat lelakinya. Tuan March mengabdikan dirinya pada negara untuk bergabung dalam angkatan perang sehingga keluarga March harus hidup dengan kondisi serba kecukupan. Mrs March atau yang biasa disebut Marmee (diperankan oleh Laura Dern) harus berperan sebagai ibu sekaligus ayah yang menafkahi keempat anak perempuannya.  Meg March (diperankan oleh Emma Watson) adalah kakak tertua yang bercita-cita menjadi seorang aktris, menyimpan hasrat untuk menjadi orang kaya tetapi hatinya tertambat pada seorang pria yang berprofesi sebagai guru. Beth March (diperankan oleh Eliza Scanlen) adalah adik Jo March yang menjadi satu-satunya anggota keluarga yang tak punya keinginan apa-apa selain bermain piano dan berada di tengah keluarga. Beth akhirnya meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Amy March (diperankan oleh Florence Pugh) adalah anak bungsu yang memiliki bakat melukis dan sejak kecil sudah menyukai Laurie, tetangga sekaligus sahabat Jo March. Amy akhirnya menikah dengan Lauree. Laurie (diperankan oleh Timothee Chalamet) adalah anak yatim piatu kemudian diasuh oleh kakeknya yang kaya raya yang tinggal di rumah besar di seberang kediaman keluarga March. Laurie sangat menyukai keriangan yang ada di keluarga March dan akhirnya jatuh cinta dengan Jo March.

 

Novel ini telah beberapa kali diadaptasi menjadi film. Pada Tahun 1994, Little Women yang disutradarai oleh Gillian Armstrong menggunakan alur maju. Keceriaan dalam keluarga March tanpa sang ayah dimunculkan di adegan pertama, keempat kakak beradik mengisi waktunya dengan bermain drama karya Jo March di rumah. Sedangkan Greta Gerwig pada Little Women kali ini menggunakan alur campuran. Adegan dimulai dengan Jo March berada di kantor penerbit di New York hendak menjual cerita pendeknya demi mendapat upah yang akan digunakan untuk membantu keluarganya. Kemudian adegan beralih ke masa lalu dengan jarak waktu yang tak terlalu jauh (tujuh tahun) sehingga dapat membuat bingung penonton. Oleh sebab itu, jika ingin menonton Little Women gubahan Greta Gerwig ini disarankan untuk membaca novelnya terlebih dahulu atau menonton film produksi sebelumnya agar dapat dinikmati dengan khidmat. Meskipun demikian, Greta Gerwig berhasil membungkus cerita ini menjadi cerita yang hangat. Ada momen yang kembali diangkat di film ini dengan sangat menyentuh emosi. Misalkan ketika kakak beradik March saling mengeluh karena di hari natal tidak ada kado lalu Marmee datang dan memberitahu bahwa ada tetangga mereka yang terdiri dari ibu dan anak-anak kecil tanpa ayah dan makanan dan harus berbagi kasur dan selimut di natal yang bersalju ini. Marmee mengusulkan agar anak-anaknya mau memberikan makanan mereka sebagai kado natal bagi tetangga miskin tersebut. Lalu mereka berbondong-bondong datang ke rumah tetangga itu dan merayakan natal bersama. Selain itu ada juga momen dimana Jo March setelah sekian lama dan sempat mengalami kehilangan adiknya, Beth March, akhirnya memutuskan untuk kembali menjalin cinta dengan Laurie. Namun, Laurie terlanjur menikahi Amy tanpa sepengetahuan Jo. Di sini, Jo terlihat sangat terpukul tetapi akhirnya ia bisa menepis kekecewaannya demi kebahagiaan Laurie dan adiknya. Sinematografi yang digarap oleh Yorick Le Saux lebih sering menggunakan teknik Extreme Long Shot untuk menggambarkan situasi, kondisi dan perbedaan tempat tinggal keluarga March dan Lawrence. Pengaturan setting tempat di film ini lebih modern tapi tetap mewakili situasi di zamannya, terlihat dari keadaan kota New York yang dibandingkan garapan sebelumnya masih beralaskan tanah. Penataan kostum yang meskipun sesuai dengan penampilan di masanya tetapi tetap mengedepankan aspek fashion. Contohnya adalah kostum yang dikenakan oleh Meg dan teman-temannya pada saat pesta di kota, menggunakan warna-warna pastel cerah dipadankan dengan tulle dan bulu-bulu merupakan salah satu aspek yang menandakan kemajuan ilmu dan teknologi produksi film Little Women terbaru.

 

 

Monday, February 8, 2021

Review Kumpulan Cerpen: Malam Terakhir

 

 

 

 

 

 


Review Kumpulan Cerpen

 

Judul                        : Malam Terakhir

Penulis                     : Leila S Chudori

Penerbit                   : Kepustakaan Populer Gramedia

ISBN                        : 978-602-424-823-9

Halaman                   : 117 hal

Pereview                  : Andini Naulina

 

 

 

Kumpulan cerpen Malam Terakhir terbitan tahun 2020 merupakan cetakan yang keenam.   Di buku ini Leila menyeleksi cerita-cerita yang sesuai dengan keinginan periode masa kini dan mewakili zamannya.

 

Ada sembilan judul cerpen yang dapat dinikmati dan dihayati. Di awal cerita, kita akan dibawa ke situasi Paris yang kumuh dan berada dalam adegan antara seorang gadis dengan Marc seorang seniman yang bergulat dengan jiwanya (Paris, Juni 1988). Kemudian cerita beralih ke sebuah keluarga di Jakarta. Adila yang berusia 14 tahun merasa terkekang oleh Ibunya sendiri dan mengakhiri hidupnya demi menggapai kebebasan (Adila). Lalu kita bertemu dengan ketidaksetaraan labelisasi antara wanita dan pria yang sama-sama merusak kesetiaan ( Air Suci Sita).

 

Sehelai Pakaian Hitam, dan Untuk Bapak meruak kisah kehidupan dunia dan akhirat yang saling bergesekan. Manusia bertuhankan manusia. Terkekang oleh harapan manusia lain sehingga terjebak dalam kemunafikan dan akhirnya terbebas karena kematian. Ilona dan Keats menyuarakan kebebasan pikiran dan pilihan wanita, menolak konvensi adat istiadat dan norma. Terlepas dari perdebatan kebebasan pikiran dan pilihan, kisah Sepasang Mata Menatap Rain adalah kisah yang menggugah dan membuka mata pembaca terhadap masalah-masalah negara miskin yang ternyata hadir di negeri sendiri. Petualangan cerita akhirnya berlabuh pada kisah terakhir yang judulnya dipilih sebagai judul buku kumpulan cerpen ini yaitu Malam Terakhir. Kisah itu kembali mengingatkan kita kepada sejarah kelabu negeri ini.

 

Seperti novel-novel Leila yang lain, kumpulan cerpen ini menyediakan ruang bagi pembaca untuk menikmati kalimat yang dirangkai oleh kata-kata pilihan sang penulis yang sangat menyukai tata bahasa. Wawasan penulis tentang karya sastra terkenal baik dari dalam maupun luar negeri juga ikut dibagikan di setiap cerita. Latarbelakangnya sebagai seorang jurnalis turut membentuk gaya penulisan yang sederhana namun memuat kompleksitas.

 

Kumpulan cerpen ini bukan cerpen cengeng penuh drama. Kumpulan cerpen ini adalah potret kebebasan yang terkungkung oleh ragam hal.

 

 

Friday, February 5, 2021

Review Novel : Laut Bercerita


 

Review Novel

 

Judul           : Laut Bercerita

Penulis        : Leila S Chudori

Penerbit       : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

ISBN            : 978-602-424-694-5

Halaman       : 379

Pereview       : Andini Naulina

 

 

Ketika saya terpaku pada sebuah rak tertulis ‘Best Seller’ di toko buku, saya masih belum dapat menentukan buku mana yang akan saya pinang dari sekian buku yang berbaris di rak itu. Namun, sesaat mata saya menangkap nama Leila S Chudori tertera di salah satu buku dan dengan sekejap tangan saya langsung menyambarnya. 

 

Sesuai dengan judul ‘Laut Bercerita’, gambar sampul buku ini adalah laut berwarna biru dengan ikan-ikan cantik yang sedang berenang di dalamnya akan tetapi di sudut gambar ada ilustrasi sepasang kaki yang dirantai. Ilustrasi tersebut menimbulkan pertanyaan di benak saya : Ada apakah gerangan dengan kaki terantai di dalam laut yang indah?

 

Segera saja saya membalik badan buku ini dan membaca tulisan di punggungnya. Terus terang awalnya saya tidak terlalu menyukai blurb yang tertulis karena buku ini bukan termasuk ke dalam genre yang saya sukai. Buku ini bercerita tentang penyiksaan yang dialami oleh para aktivis di tahun 1993-1998. Lalu, saya kembali melihat sampulnya dan menemukan lingkaran kecil berwarna emas di sudut bawah tertulis S.E.A Write Award 2020. Batin saya berkata : Buku ini bukan buku biasa.

 Singkat cerita, saya langsung meminangnya bersama 2 buku lain yang ada di rak itu. Akan tetapi, buku ini bukan buku pertama yang saya baca. Setelah dua buku lain selesai dilahap oleh saya, saya masih saja ragu untuk membaca buku ini. Pasalnya, saya takut membayangkan kengerian yang ada di dalamnya. Akhirnya, saya mencoba membuka halaman daftar isi. Dari daftar isi, diketahui bahwa buku ini menggunakan dua POV 1. Prolog dan 10 Bab pertama menggunakan POV tokoh Biru Laut sedangkan 6 bab terakhir menggunakan POV tokoh Asmara Jati. 

 

Biru Laut dan Asmara Jati adalah kakak beradik yang berasal dari keluarga harmonis. Sejak kecil mereka terbiasa membaca karya sastra dan novel-novel perjuangan yang ditulis oleh sastrawan Indonesia dan juga penulis asing. Ketika Biru Laut menjadi mahasiswa UGM, ia bergabung dengan gerakan mahasiswa yang ‘terlarang’. Gerakan mahasiswa itu mempunyai tujuan untuk menggulingkan pemerintahan Suharto yang telah memimpin negeri ini selama puluhan tahun sehingga mengakibatkan sistem pemerintahan menjadi korup dan menyengsarakan rakyat. Akibat gerakan mahasiswa tersebut, Laut dan rekan-rekannya menjadi buronan lalu kemudian diculik. Mereka disiksa dan akhirnya dibunuh. Berbeda dengan kakaknya, Asmara Jati fokus menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran UI. Meskipun Ia telah berulang kali mengingatkan Laut betapa bahaya gerakan yang sedang dilakukannya, Asmara tetap menyayangi dan ikut mendukung Laut. 

 

Ternyata, membaca setiap kata yang mengalir dari buku ini tidak sedikitpun berdampak ketakutan atau trauma melainkan kesedihan yang mendalam dan, terus terang, membuat saya sedih selama dua hari. Saya masih ingat peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang mengakibatkan lengsernya Presiden Suharto, akan tetapi saya tidak mengetahui dibalik peristiwa sebesar itu ada perjuangan Laut dan kawan-kawannya serta kesedihan keluarga para aktivis yang  hilang. Membaca buku ini membuat kita kembali mengingat sejarah yang sempat terlupakan oleh para generasi muda. 

 

Buku ini bukan buku sejarah, melainkan novel fiksi yang berdasarkan kisah nyata. Leila S Chudori mengisahkannya dengan detil dan penuh penghayatan sehingga membuat pembaca benar-benar kembali dibawa ke zaman orde baru dan berada di tengah-tengah Laut beserta kawan-kawannya. Selain itu, Leila juga membumbui kisah ini dengan puisi dari penyair terkenal Sutardji Colzoum Bachri dan beberapa karya sastra terkenal lainnya yang membuat kisah sejarah yang menyedihkan ini menjadi suatu cerita yang indah yang patut kita kenang. Itulah sebabnya buku ini mendapat penghargaan The South East Asean Write Award (S.E.A Write Award), diterjemahkan ke dalam bahasa asing dan juga dibuat film pendeknya oleh Yayasan Dian Sastrowardoyo.